Diberdayakan oleh Blogger.

XII-PH SMKN 62

XII-PH SMKN 62
@Jati Jajar <3

Pengikut

it's me..

Kamis, 24 Oktober 2013

Just Look at You

Just Look at You 

Aku takut, 
Aku takut saat sedang bersamamu , 
Karena aku tidak bisa berhenti menyayangimu .. 
Karena aku sulit untuk berpaling darimu. 
Aku takut pergi jauh darimu, 
Karena kurasa aku tidak akan kembali lagi. 
Mungkin aku akan kehilanganmu , 
Mungkin kamu akan lupa padaku, 
Jadi aku tidak akan pergi jauh, 
Aku tak tahu mengapa, 
Tapi ada satu hal yang kutahu , 
Aku telah jatuh cinta padamu… 

*** 

Jakarta 
“Selamat pagi , Jangan lupa ada hal yang harus kamu 
lakukan pagi ini Mil.” 
Kata kata itu menerjang telinga Emillio, yang 
bahkan kesadarannya belum ia dapatkan seutuhnya. 
Emil berdehem pendek. Bangkit dari kasurnya dan 
segera menuju ke kamar mandi untuk segera bersiap- 
siap. Ia lalu tertawa hambar. “Lucu sekali. 
Bisakkah kau tidak mengomel dan membuat moodku 
jelek pagi ini?” katanya datar. 
Fajar berdiri disamping tempat tidur dan 
menatap aneh Emil, menatap wajah temannya 
itu yang masih berwajah kusut. Matahari cukup terik 
pagi itu, dan seharusnya dia memang sudah bangun jam 
segini. 
“Ayo cepat, kita harus segera menuju asrama dan 
menjemput yang lainnya.” 

*** 
Dhika melampiaskan tubuhnya yang masih lelah 
diatas tempat tidur flatnya. Ia masih lelah , dan 
enggan bangun. Tapi ia harus bekerja pagi ini, dan satu 
hal lain today is Sunday! 
“ Pagi , dhika. Hari ini kamu pagi sekali.” Nur Andini , teman 1 kamarnya sambil tertawa garing dan 
menyodorkan sepotong roti bakar dengan coklat 
diatasnya. 
Dhika mendecak , mencibir sedikit , lalu segera 
beranjak ke dapur untuk membuatkannya sendiri 
segelas kopi. Kopi adalah teman keduanya setelah 
Andini menurutnya , dan kembali mengambil Roti 
panggang dan duduk di balkon. 
“ Ngomong ngomong , kau kenal seseorang bernama 
Emillio?” Tanya Andini sambil merayap 
mendekat. “ Dia meninggalkan pesan di mesin 
penjawab , dan ini sudah yang kelima kalinya pagi ini.” 
Sebentar. Em , Em .. Em.. Em 
apa tadi?  Astaga! Emillio ! 
“ Iya din, aku harus pergi sekarang. Nanti 
akan kuceritakan siapa itu Emillio.” Segera 
setelahnya Dhika sudah berada di kamarnya dan mandi 
dengan segala kecepatan yang bisa ia lakukan. 

*** 

Oke. Sekarang dimana orang itu? 
Emil masih menatap gusar coretan coretan kertas 
di tangannya. Sembari menunggu si designer yang dia 
tunggu ini datang. 
“ Maafkan aku Pa' Emil. Aku terlambat bangun pagi ini “ 
Dhika menghampiri Emil yang sedang duduk dengan 
wajah yang masam dan gusar itu dengan hati hati. Dia 
tahu Emil pasti sudah menunggu lama. “ Oh , tidak 
apa apa. Semoga lain kali tidak begini lagi.” Emil 
berdehem ,”Silahkan duduk , Dhik, kamu terlihat 
pucat” 
Dhika mengangguk lalu duduk tepat di depan Emil 
dan memanggil segelas kopi, lagi. 
“ Ng, jadi ada apa memanggilku di 
minggu pagi yang indah ini? “ katanya seraya 
menerawang ke atas langit biru pagi, lalu menatapku 
bingung. 
Aku tersenyum. “Entahlah. Sepertinya aku tertarik 
pada designmu, aku akan menjalankan bisnis Fashion 
Outlet dalam waktu dekat, dan aku ingin rancanganmu 
masuk dalam catalog bulananku.” Ia diam sejenak , lalu 
melanjutkan “ Bagaimana? “ 
Gadis itu terlihat diam. Aku menikmati saat 
menatapnya seperti ini. Mungkin dia lupa siapa aku. 
“ Ah? Benarkah? Anda tertarik? Masih banyak loh 
designer lain diluar sana yang bersedia anda kontrak.” 
Dia menunduk. “ Tapi yah , baiklah. Terima kasih sudah 
mempercayaiku untuk yang kali ini.” 
Aku melihat dia berdiri , membungkuk dan mengucapkan 
salam padaku. 
“Baiklah Pa' Emil, Aku akan menemuimu lagi pada 
jam kerja berikutnya. Senang bisa berkenalan 
denganmu.” 

3 Tahun kemudian. 

“Emillio itu. Orangnya bagaimana?” 
Pertanyaan ini menerjang telingaku yang bahkan belum 
siap untuk suasana curhat curhatan. Aku tertawa 
sebentar dan bergumam tak jelas agar temanku yang 
satu ini penasaran setengah mati. 
“ Kau belum bertemu dengannya ? Dia laki laki yang 
baik” 
Sudah dua tahun kami bersama. Dan sepanjang ini 
belum ada pertengkaran aneh yang terjadi antara 
kami. Sesaat setelah kami bertemu pertama kali di 
kafe pagi itu , dia sering menghubungiki , kami sering 
bertemu , dan yah kalian tahulah pada akhirnya 
bagaimana. Walaupun aku pernah berpikir dia hanya 
bermain main saja denganku. 
“ Ayolah Dhik , jangan membuatku penasaran 
seperti ini. “ kata Andini dari ujung saluran 
ponsel. 
“ Aku akan bercerita nanti . Sampai jumpa , bossku 
akan marah kalau dia menangkapiku meneleponmu lagi” 

*** 

Ruangan ini sudah gelap sembari tadi. 
Dhika duduk menghadap ke jendela besar kafe 
yang sudah mulai sepi pengunjugnya. Dalam hati dia 
mengutuk Emillio. Ponsel yang dari tadi ia 
harapkan untuk bergetar tidak disentuhnya dari tadi. 
Dia sudah cukup kesal. 
“ Hay Dhik, maaf aku agak telat “ 
Dhika mendongkak, sejurus kemudian berpaling 
menatap kembali keluar jendela. Tidak mau berbicara. 
“ Tidak mau bicara ya? Yasudah. Aku kan sudah minta 
maaf padamu. Maafkan aku sekali ini saja, bagaimana? 
“ Emil tersenyum sambil menatap natap Dhika 
yang sudah mulai gusar tidak bisa menahan ingin 
tertawa dan tersenyum kembali ke arah Emil. 
Dhika mendengus. “ Baiklah, hanya sekali ini saja. Aku 
tidak akan memaafkanmu lain kali.” Dia tertawa. Tawa 
yang paling disukai Emil. 
“ Jadi, apa yang akan kita lakukan hari ini? “ 

*** 

Dhika’s POV 

Apakah aku harus memberitahunya? Kurasa iya,tapi 
hati kecilku menolak untuk memberi tahunya. 
Tapi akhir akhir ini dia selalu bertanya 
kenapa aku mendadak pucat. 
Dan mengapa aku sering cuti dari pekerjaanku. 
Aku membohonginya dengan mengatakan aku membeli 
BBCream yg terlalu terang , 
Atau Sedang malas bekerja. 
Tapi, 
Sejujurnya aku hanya ingin menjalani sisa hidupku ini 
dengan terus bersamanya,tertawa dan berbagi cerita 
tentang kehidupan yang kita alami masing masing. 
Aku terlalu takut untuk menatapnya 
sekarang, 
Karena aku takut akan kehilangan dia… 
Mungkin semua ini terdengar terlalu 
cepat, tapi beginilah keadaanya. Minseok tidak boleh 
tahu apa yang terjadi padaku. 
Haruskah aku menjauhinya? Ataukah 
memberitahunya semua ini? 

*** 

Ringtone ponsel membuyarkan lamunanku. 
“ Ya halo mil? Ada apa? “ kataku seraya 
membuka pintu flat dan masuk kedalam taxi yang sudah 
kupesan 10menit yang lalu. 
Emil menerawang, “ Ngg, begini. Nanti malam 
sepertinya aku tidak bisa menemanimu pergi ke pesta 
ulang tahun Nur Andini. Aku harus pergi ke 
Amerika. Hanya 3 hari aja. Tidak lama. ” Ia diam 
sesaat lalu melanjutkan , “ Tidak apa apa kan? “ 
Aku terdiam. Kenapa dia harus tidak ada saat aku 
sedang merasa tertekan? 
“ Ah , tidak apa apa Pa'. Lanjutkan saja 
pekerjaanmu. Oh iya, sekarang aku akan pergi ke salon 
dan menemani Andini juga. Oh iya , kamu 
berangkat jam berapa? “ 
“ Sekitar jam 8 malam. Aku akan meneleponmu saat 
aku sudah berada di pesawat , dan juga saat aku sedang 
berada di Amerika , dan saat aku merindukanmu 
ataupun jika bisa aku akan meneleponmu setiap detik.” 
Emil tertawa kecil . 
Alisku terangkat sedikit , mengernyit “ Setiap detik? 
Baiklah aku juga akan melakukan hal yang sama. Kamu 
memang penggombal Mil.” Aku tersenyum “ 
Baiklah, aku akan meneleponmu lagi nanti. Salon adalah 
tempat yang ribut, jangan lupa itu.” 
“ Haii.. Aku akan sangat merindukanmu. Ahh, 
rasanya seperti tak bisa melihatmu lagi. Hahaha aku 
memang terlalu berlebihan.” 

‘Deg’ 

“Maksudnya?” 
“ Ah tidak tidak. Baiklah, sampai jumpa 3 hari lagi.” 

*** 

Hening.Aku menghela nafas lalu segera masuk 
kedalam rumah sakit. Aku benci rumah sakit. Sudah tak 
terhitung berapa kali aku berada disini. Masuk kedalam 
ruangan yang sepertinya bisa langsung membunuhku 
begitu saja. 
“Selamat pagi Dhika. Kamu rutin sekali datang . 
Aku berharap penyakitmu akan sembuh.” Seorang 
suster tersenyum melihat kedatanganku. Aku memang 
rutin datang periksa. Karena aku takut. Terlalu takut 
untuk menerima kenyataan bahwa penyakitku sudah 
sangat parah. 
“ Ramadhika, apa keluargamu sudah tau ?” 
Aku tercengang. Aku tidak mungkin sanggup 
memberitahukan papa dan mama tentang penyakitku 
ini. Dengan enggan aku menggelengkan kepalaku pelan. 
“ Sepertinya keluargamu harus sudah bersiap siap. Aku tak tahu apakah aku harus mengatakan hal 
ini tapi.. “ Ia terdiam sejenak , “ Menurut hasil 
laboratorium kemarin , Sel darah putihmu sudah 
mencapai puncaknya. Dalam beberapa hari ini kamu 
akan sering pusing dan merasakan sakit. Mungkin sisa 
waktumu untuk hidup hanya 3 hari.” 
Jantungku seakan berhenti berdetak. Tinggal 3 hari 
katanya? 
“ Saya usulkan kamu segera dirawat dirumah sakit. “ 
Tubuhku mendadak dingin. Tanganku bergetar hebat. 
Air mataku bercucuran keluar. 
“ Tidak! Tidak mungkin! Dokter pasti salah , hasil tes 
itu pasti salah “ 
Aku berlari keluar dari ruang prakter dokter dan 
keluar dari rumah sakit tanpa peduli panggilan suster 
yang tadi bersamaku. 
Sesaat aku mendengarnya memanggil namaku . 
Suasananya ribut. Sangat ribut. Saat aku berpaling 
dari pandanganku ke arah lainnya , sebuah truk masuk 
melesat ke arah ku dengan kecepatan tinggi. Lalu 
semuanya gelap. 

*** 

Emil’s POV 

Kemana dia? Sudah dua hari ini kenapa teleponnya 
sibuk? 
Aku sudah berkali kali meneleponnya , dan 
tidak ada jawaban dari dia. Kemana? Dia sudah 
berjanji padaku untuk menjawab telefonku .Apakah dia 
sudah tidur? Tidak. Tidak mungkin. Dia sudah berjanji. 
Ataukah ada sesuatu yang terjadi padanya? 
“ Halo, Alis. Apakah kamu 
tau dimana Dhika? “ Aku menempelkan ponsel ke 
telinga sembari duduk di bangku sebuah taman di depan 
hotel yang kutempati. 
“Oi Pa', kamu dimana?” 
“Aku sedang di Amerika. Ada apa ? “ Aku mengigit bibir 
bawahku. Kenapa hatiku jadi gak karuan? 
“Dhika , di .. dia sekarang sedang berada di rumah 
sakit.” 
“Apa? Rumah sakit?” Tunggu dulu. Dia pasti berbohong. 
“ Cepatlah pulang Mil. Apakah kamu tahu Dhika 
mengidap kanker darah stadium terakhir ? “ 
Kenapa aku tidak tahu? Kenapa? Jangan Jangan… Dhika memang sengaja menyembunyikannya dariku ? 
“ A..Aku tidak tahu dia sakiit. Aku memang melihatnya 
akhir akhir ini lebih kurus dan pucat. Tapi dia bilang 
dia sedang diet dan memakai cream wajah yang salah.” 
Emil menelan ludah saat mengucapkan kalimat 
terakhir. 
Bagaimana dia bisa selalu menggunakan Cream wajah 
yang terlalu putih ? Aku lupa. 
Dengan suara tercekik dan agak tercekat akhirnya 
Emil dapat bertanya “ Apakah dia baik baik saja?” 
Alis terdiam beberapa saat. Sambil tersenyum 
pahit dia menjawab , 
“ Dia koma Pa'.” 
Kepala Emil serasa berputar putar . Ia 
mendongkak dan melihat jalanan seperti akan 
mendorongnya jatuh. Ia berdiri terhuyung huyung , 
kembali ke airport dengan sekuat tenanga , dan segera 
bertolak kembali ke Jakarta. 

*** 
Emil berdiri di depan kamar rawat Dhika. Dia menunduk dan sesekali terlihat ingin 
memegang pintu kamar itu dan masuk untuk segera 
memeluk Dhika dan membangunkannya. Tapi ia tak 
sanggup. 
Emil, sepertinya dia sedang menunggu 
kedatanganmu. Mungkin bila kau bertemu dengannya ia 
akan sadar . Tapi kemungkinan berikutnya adalah , dia 
mungkin tidak akan sadar lagi. Tubuhnya menolak saat 
transfusi darah dilakukan. Dan ini sudah melewati 
masa yang telah kami perkirakan. Maafkan kami Pa' Kami sudah melakukan hal terbaik. 
Dari luar Emil dapat melihat Andini sedang 
duduk disana sambil terisak isak dan mengajak Dhika 
berbicara . Tentang hal apapun. Dari mulai 
kehidupannya sekarang , pekerjaannya sampai Andini juga membicarakanku. 
Dan inilah aku. Terlalu pengecut untuk masuk kedalam 
kamar rawat yang di cat dengan warna biru terang ini. 
Andini yang sepertinya sudah sangat bersedih 
berlari keluar dari kamar rawat dan menghanpiriku. 
“ Bapa' Emil ? Ini ada selembar surat yang aku 
temukan di Kamar Dhika hari itu saat kamu sedang 
berada di Amerika. Aku tidak tahu apa surat itu , tapi , 
aku harap kau membacanya. “ Lalu kyung myun berlalu 
meninggalkanku. Isak tangisnya masih sangat 
terdengar. 
Foto kami berdua saat sedang berada di Gandaria City menjadi hal awal yang menyiksa hatiku , 
setelahnya ada foto kami saat sedang berlibur di 
pantai, foto saat dia sedang membuatkan kue untuk 
pesta ulang tahunku bahkan foto saat aku seang tidur. 
Halaman berikutnya penuh dengan tulisannya yang 
ditulis dengan rapi, dan sepertinya dia menulisnya 
sambil menangis hari itu. 
“Haii Bapak Emil, mungkin saat kamu sedang membaca 
surat ini aku sudah berada di rumah sakit dalam 
keadaan koma atau mungkin dalam keadaan sudah 
meninggal ? Haha , aku tahu ini terlalu cepat bagimu. 
Aku belum sempat membicarakan masalah penyakit 
serius yang kuderita padamu karena aku terlalu takut 
untuk memikirkan bagaimana kamu akan bisa hidup 
tanpaku? 
Mil , sudah 2 tahun kita bersama . Dan 
baru tahun belakangan ini aku mengetahui penyakit 
yang aku derita. Aku tahu aku memang pacar yang tidak 
berguna , yang tidak bisa memberitahukan masalah 
terbesar yang aku alami saat ini. Tapi ini semua 
kulakukan karena aku sayang padamu. Aku tidak ingin 
kamu bersedih karena penyakitku, jadi aku putuskan 
untuk bungkam. 
Andini dan Alis tau tentang 
penyakitku. Aku menyuruh mereka untuk tidak 
memberitahukanmu. Apakah itu baik? Jangan marahi 
mereka saat kamu bertemu dengan mereka . Karena 
aku yang menyuruh mereka untuk melakukannya. “ 
Setetes air mata mengalir keluar dari 
mataku. Aku gemetar. Terlalu sulit untuk membaca 
lanjutannya. 
“ Hehe, aku ingin mengaku dosa padamu. Aku tidak 
pernah membeli Krim wajah yang tidak cocok untukku , 
dan aku tidak diet. Itu memang sudah gejala dari 
penyakitku. Sebenarnya aku sedikit senang saat tahu 
kalau kau tidak curiga, sepertinya aku adalah akrot 
yang hebat ya ? Mungkin aku harus memilih jurusan 
Drama saat dulu. 
Kau tau , aku pernah memilih untuk 
menjauhimu , agar kau dapat melupakanku. Hasilnya? 
Aku tidak sanggup melakukannya. Aku sudah jatuh 
terlalu dalam padamu. Kau ingat pertemuan kita 
pertama kali di kafe pada minggu pagi? 
Satu satunya hal yang dapat kulakukan 
sekarang adalah perlahan keluar dari hidupmu. Aku 
memang tidak akan pernah melupakanmu, karena kamu 
akan selalu disini. Aku akan selalu mengingatmu 
dimanapun aku akan terlahir kelak. 
Setelah aku mecoba untuk keluar dari 
hidupmu , baru kusadari aku adalah actor yang payah. 
Aku tidak dapat membohongi perasaanku selama ini. 
Aku tidak akan pernah bisa menjauh ataupun pergi 
darimu Aku akan bahagia melihatmu bahagia , walaupun 
itu dengan orang lain . Mungkin kita memang bukan 
Jodoh seperti yang dikatakan oleh Fortune Teller 
saat festifal kemarin, haha. 
Mungkin setelah semua ini berakhir, maksudku aku 
sudah tiada , kamu akan melupakan aku , jadi bisakah 
aku bersikap egois untuk sesaat? Aku ingin memilikimu 
sendiri untukku seorang, aku tidak ingin berpisah 
darimu. Aku ingin seluruh orang didunia ini tahu kalau .. 
Aku mencintaimu .Sangat Mencintaimu.“ 

Aku melangkah masuk kedalam ruangan yang terasa 
dingin menusuk kedalam tulang. Aku tidak suka rumah 
sakit jika begini ceritanya. Dingin.. 
Dhika tertidur dengan wajah lugunya , tapi wajah lugu 
itu pucat. Perban hampir menutupi seluruh tubuhnya, 
kecuali Wajah, berbagai selang dan kabel yang 
menghubungkan tubuhnya dengan mesin semakin 
menambah perasaan yang tidak enak. 
Dengan berat aku melangkah mendekat ke sisi ranjang. 
Dhika masih diam tak bergerak. Tapi aku tahu dia 
masih hidup. 
“ Dhika, aku sudah membaca suratmu.” Lirih, 
berharap Dhika membuka mata dan berbicara padanya 
seperti biasa. “ Aku , aku cukup bangga padamu yang 
dapat membohongiku tentang penyakitmu, ya kau calon 
actor yang hebat.” 
“Aku sama sekali tidak bisa berpikir jernih sekarang. 
Tapi , bolehkah aku meminta sesuatu? “ Aku 
mengenggam erat tangan Dhika“ Berjanjilah kalau 
kau bangun , kau akan hidup denganku selamanya. Dan 
jika tidak .. “ Aku berdehem. “ Berjanjilah kau akan 
menjadi pasanganku di kehidupan selanjutnya.” 
Kata kata terakhir itu mencekat leherku. Aku tahu 
kemungkinan terbesar dia tidak akan pernah bisa 
bangun lagi. Tubuhnya saja sudah kerkurangan darah , 
bagaimana dia bisa hidup tanpa darah ? 
“ Satu hal lagi yang paling penting dari segalanya. 
Jangan pernah lupa bahwa Aku , Aku sangat 
mencintaimu .. Aku benar benar tidak bisa hidup 
tanpamu, tapi Aku berjanji aku akan baik baik saja. 
Aku tidak akan pernah lupa padamu. Berjanjilah Dhik, kamu akan mencintaiku seperti aku yang sangat  mencintaimu.” 
Kelopak mata Dhika bergetar sesaat. Air mata 
menetes dari kedua matanya. Tapi dia masih tidak 
bergerak. Sesaat Emil sudah senang melihat ini. 
Namun kenyataanya.... 

*** 

“ Eh Lis , pernakah kamu berpikir untuk dapat 
memberikan kehidupanmu pada seseorang sangat kau 
cintai? Mungkin ini terdengar gila , tapi aku rela 
memberikan hidupku pada orang yang sangat aku cintai.” 
Alis menggeleng . 
“Aku tidak mengerti apa maksudmu , tapi itu 
kedengarannya baik. “ 
“Kau tahu permintaan apa yang aku minta saat aku 
berulang tahun kemarin? Aku berharap aku ingin selalu 
bersamanya. Hidup selamanya bersama dia. Aku tak 
tahu apakah tuhan akan mengambil siapa dulu , tapi 
yang pasti , Aku ingin dia selalu bersamaku.”  

0 komentar:

Posting Komentar