Diberdayakan oleh Blogger.

XII-PH SMKN 62

XII-PH SMKN 62
@Jati Jajar <3

Pengikut

it's me..

Selasa, 22 Oktober 2013

Secret Sweet Letter

Angin musim gugur berhembus pelan di pertengahan bulan Oktober ini. Memberikan pemandangan yang khas di sudut-sudut kota Jakarta.  Daun-daun pepohonan tampak menguning dan perlahan  berubah menjadi kecoklatan lalu berjatuhan ke tanah.

Seorang wanita berseragam sekolah tampak  duduk dengan gelisah di bawah pohon Beringin yang mulai
kehilangan daunnya. Sesekali dia mengedarkan  pandangannya ke seberang jalan dan melirik ke jam
tangannya yang menunjukkan pukul empat sore.  “Dia selalu saja terlambat,” gumam wanita itu sambil menyandarkan punggungnya di batang pohon.  Tangannya bergerak membuka tas punggungnya lalu mengeluarkan sebuah buku catatan kecil bersampul ungu muda dan sebuah pensil yang tingginya hanya beberapa centimeter karena sudah terlalu lama dipakai.

Musim gugur memberikan kesan kering dan coklat.  Daun-daun berguguran meninggalkan dahannya, yang sejak musim semi dan panas kemarin telah mempertahankannya. Kau adalah pohon itu dan aku adalah daunnya.  Kau telah berhasil menggugurkan sesuatu dalam diriku.  Meski pohon itu kehilangan daun-daunnya namun daun-  daun itu tetap berguna. Dan aku ingin selalu berarti  untukmu…

“Ehem..”
Tanpa wanita itu sadari seorang pria telah  berdiri di sampingnya dengan nafas yang sedikit  terengah karena harus berlari dari ruang kelas sampai halaman depan sekolah itu.
“Ehem..” pria itu berdeham lagi. Tidak ada  reaksi. Dia pun mencondongkan tubuhnya, mengintip
baris-baris tulisan yang tengah wanita itu tulis dan tersenyum kecil.
“Eh anas, rupanya kau benar-benar sedang  serius, ” anas mendongak, mendapati Doni –nama pria itu- tengah mengintip buku rahasia miliknya.
“Apa yang sedang kau lakukan?!” ucap Anas kaget, lalu buru-buru memasukkan buku itu ke dalam
tasnya kembali.
“Aku ini kan sahabatmu, kenapa aku tidak
pernah boleh membaca buku itu, eoh?” ujar Doni
dengan mimik muka lucu. Dia melepas tas sekolahnya
dan duduk bersila di atas rumput yang menguning.
“Ini pri-va-si,” sahut Anas sedikit gugup.
“Kenapa baru datang?”
“Ah, maafkan aku. Kelompokku mendapat
giliran paling akhir untuk presentasi,” jawab Doni,
sementara Anas hanya mengangguk.
“Nah, coba lihat apa yang aku temukan lagi di
laci mejaku,” Doni membuka tasnya dan
mengeluarkan empat amplop dengan warna-warna yang
berbeda, merah muda, ungu, jingga, dan biru safir.
“Surat penggemar rahasia lagi?” tanya Anas antusias.
“Benar, aku tidak mengerti kenapa ada orang yang mengirim surat-surat ini untukku. Seolah-seolah aku spesial di matanya. Kelihatannya aku terlalu berlebihan, tapi jika membaca kata-katanya kupikir orang itu menyukaiku,” Doni tertawa pelan.
“Padahal kan aku tidak populer juga tidak tampan,” lanjutnya rendah hati.
Anaas menggeleng pelan tanda tidak setuju.
Pria di depannya ini adalah salah satu siswa yang
banyak dikagumi di kalangan siswa khususnya adik-adik kelas wanita. Terang saja, karena Doni yang
notabene warga Prancis ini memiliki prestasi yang membanggakan di bidang akademik, juga karena
kepribadiannya yang hangat, baik dan ramah.
“Anas, maukah kau membantuku mencari pengirim surat ini? Aku sangat penasaran dengannya,”
“Err.. tentu saja,” Anas mengangguk pelan dan tersenyum.
=====================================================================
“Anas, maaf telah merepotkanmu.
Sebentar lagi cafe ini akan tutup, aku akan berganti pakaian sebentar ya,” ucap Doni yang diiringi anggukan kepala oleh Anas.  Pria itu mengangkat nampan berisi cangkir-cangkir kosong dan membawanya ke dapur. Sementara Anas memperhatikan sekeliling ruangan bernuansa coklat muda itu, yang merupakan cafe kecil tempat Doni bekerja sepulang sekolah. Sebagai mahasiswa yang mendapatkan beasiswa ke Indonesia, harus hidup mandiri dan jauh dari keluarganya di Prancis.

“Nona, vanilla lattemu sudah habis, mau tambah lagi?” Yanto, teman Doni yang juga bekerja di sana tampak mengelap meja di samping Anas sambil memamerkan senyum khasnya.
Anas menatap ke arah cangkirnya yang memang sudah kosong. “Tidak, to. Terima kasih..” tolak Anas tersenyum sopan. Satu per satu pengunjung cafe mulai berkurang seiring dengan langit yang mulai gelap. Ketika pelanggan terakhir telah meninggalkan cafe itu, Doni memasang papan bertuliskan ‘CLOSED’ di dekat pintu kaca. Pakaian seragam kerjanya telah berganti dengan kaos putih sederhana dan celana panjang.
“Kita berdiskusi di sini saja, ya. Aku harus menjaga cafe sampai managernya datang,” Yanto menarik kursi di depan Anas dan duduk.
“Baiklah,” jawab Anas seraya meniup-niup cangkir kopi susunya yang beberapa menit yang lalu Doni bawakan untuknya.
“Menurutku pengirimnya adalah satu orang karena meskipun surat ini ditulis dengan komputer tapi aku bisa mengenali gaya tulisannya. Bagaimana menurutmu, Anas?” tanya Doni sambil mengamati belasan surat-surat di atas meja.
“Aku pikir juga begitu,” Anas mengangguk
dan meletakkan kembali cangkirnya. “Kau bilang menerima surat ini setiap hari, kapan surat ini ada di
mejamu?”
“Setiap pagi ketika aku tiba di kelas pasti surat ini sudah ada di laci mejaku,”
“Dia pasti dia sengaja berangkat lebih pagi untuk meletakkan surat itu,” ujar Anas menyimpulkan.
“Mungkin saja. Seandainya saja aku bisa
berangkat lebih awal, mungkin aku bisa bertemu dengan
pengirim surat ini,”
Selain bekerja part time sebagai pelayan cafe setiap pagi Doni juga harus mengantarkan koran dan susu segar dari rumah ke rumah. Pekerjaan itu baru selesai jam enam pagi, sementara dia hanya punya waktu setengah jam untuk bersiap-siap ke kampus.
“Bagaimana kalau aku saja? Mungkin besok aku akan berangkat lebih pagi untuk bersih-bersih ruang
kelas, tawar Anas yang langsung mendapat sambutan senyuman hangat Doni.
“Benarkah?” Mata Doni membulat lucu. “Aku mengandalkanmu Nas, semoga kau bisa bertemu
dengan orangnya. Tapi jangan langsung diinterogasi,
ya? Nanti dia malu,” Anas tertawa ringat. “Serahkan saja padaku don!”
================================================================
Doni mempercepat kayuhan sepedanya, tidak peduli dengan nafasnya yang mulai memendek karena kelelahan. Beberapa menit yang lalu Anas menelponnya dan menyuruhnya untuk cepat-cepat datang ke kampus.

Flashback..

Ddddrtt…ddrrt… Ponsel Doni yang tergeletak di atas kasur bergetar. Doni yang baru saja mandi dan masuk ke dalam kamarnya langsung menyambar ponsel itu begitu melihat nama Anas di layar ponselnya.
“Haloo, bagaimana nas? Apa kau berhasil bertemu dengannya? Dia siapa? Kakak atau Adik kelas atau seangkatan dengan kita? Dari kelas mana?
Oh, bagaimana reaksinya?” Doni langsung menyerocos
dan memberondong Anas dengan pertanyaan tanpa jeda.
“Don, bisakah diam sebentar? Aku bahkan belum sempat mengatakan ‘Halo’” potong Anas dengan nada tinggi, membuat Doni terkekeh.
“Maaf, aku benar-benar penasaran,”
“Don, maaf aku tidak bertemu dengan pengirim surat itu, namun ada sesuatu yang penting yang aku temukan. Bisakah kau datang ke sekolah sekarang?”
“Tentu saja, aku akan segera berangkat!”

Flashback end

Doni memperlambat laju sepedanya begitu sampai di area parkir sekolah yang disediakan khusus untuk sepeda. Kemudian dia memarkirkan sepedanya di sana.
“Doni” Anas melambai ke arahnya.
“Apa yang kautemukan, Anas?”
“Masih ada waktu setengah jam lagi sebelum bel masuk, kamu, duduk di sana,” ujar anas sambil menunjuk bangku panjang di bawah pohon Kenari.
“Jadi apa yang kau temukan, Anas?” tanya
Doni lalu duduk di samping Anas yang membuka tasnya.
“Sepertinya dia tahu kalau kau penasaran. Maaf, tadi aku membaca suratmu,” Anas menyodorkan amplop warna hijau pupus itu ke Doni.

-ini adalah surat kedelapan belas
yang aku berikan untukmu..
Sepertinya kau mulai penasaran dan ingin tahu
siapa aku. Maafkan aku, tapi aku tidak bisa berterus
terang padamu dan menunjukkan identitasku. Bolehkah
aku menyukaimu dengan cara seperti ini? Karena aku
merasa kau terlalu baik, dibandingkan aku yang biasa
saja. Mungkin jika kau tahu siapa aku, kau tidak akan
menyukaiku juga. Jadi itu pasti akan membuatku
terluka. maaf jika aku telah mengganggumu, aku tidak akan menulis surat lagi untukmu. Ini akan menjadi suratku yang terakhir..
Maaf telah banyak merepotkanmu, tapi aku akan selalu mendoakan yang terbaik bagimu^^

“Ini berarti aku tidak akan tahu siapa pengirim surat-surat itu nas,”
“Mungkin,” Anas mengangguk pelan dan menatap Doni yang terlihat kecewa.
“Kau tahu? Padahal sepertinya aku menyukai wanita ini nas. Meskipun aku tidak tahu siapa dia,
tapi dari surat-surat yang dia tulis aku tahu kalau dia
adalah wanita yang baik hati dan pengertian,” kata
Doni seraya memandang langit dan tersenyum.
“Benarkah?” tanya Anas tak percaya.
“Begitulah, kenapa dia tidak mau bertemu
denganku ya? Dia malu kenapa?”
“Mungkin dia merasa kau terlalu sempurna
untuknya dan itu yang membuatnya menjadi merasa tidak pantas untukmu, don,”
“Apa maksudmu?”
“Don don, tidakkah kau mengerti? Mungkin
saja wanita ini minder dengan semua penggemar-
penggemarmu yang lain, yang lebih cantik darinya, lebih
kaya, bahkan lebih populer dan…” “Apa nas?, aku tidak pernah merasa kalau aku istimewa. Dan menurutku yang terpenting bukanlah kesempurnaan luar seseorang, aku tidak membutuhkannya. Aku hanya membutuhkan kepedulian yang tulus. “
Anas terdiam dan menunduk, menatap kedua sepatunya yang mengayun-ayun gelisah.
“Aku harus pergi don. Pekerjaanku belum selesai, daaah!” tukas Anas dengan cepat sambil menyambar tasnya dan melangkah dengan tergesa-gesa, meninggalkan
Doni yang menatapnya kebingungan.
=============================================================
“Nona, tidakkah kau lihat? Akhir-akhir ini Doni gege menjadi sedikit murung,” ujar Yanto sambil mengedikkan sebelah matanya ke arah Doni yang sedang terdiam di depan meja kasir.
Anas yang sedang menulis di buku rahasianya mengangguk dan menghela nafas pelan.
“Benar, semenjak wanita itu tidak mengirim surat untuknya lagi,”
Yanto melipat kedua tangannya di atas meja dan sedikit berbisik, “Nona, tahukah. Setiap cafe sedang sepi Doni selalu membaca ulang surat-surat itu sambil tersenyum sendiri. Dan… dia juga bilang padaku kalau dia menyukai wanita itu, bahkan ingin sekali bertemu dengannya. Aku jadi penasaran..”
“Dia bilang padamu begitu?”
Yanto mengangguk.
Ddddrt…ddrrt… ponsel Anas bergetar pelan.
“Ya halo, ayah? Baiklah, aku akan segera kesana,” ujar Anas pada orang yang ada di seberang telepon.
“Ada apa, nona?”
“Sory to, aku harus menjemput ayahku di
stasiun sekarang. Aku pergi, ya!” Anas dengan
tergesa menyambar tasnya dan setengah berlari meninggalkan cafe.
“Hati-hati di jalan, nona!” ucap Yanto
seraya melambai pada wanita itu. “Eh..” dahinya
mengernyit tatkala melihat buku ungu Anas tertinggal di atas meja.
Buku itu masih terbuka dan menampilkan halaman yang berisi barisan kalimat, mengundang rasa ingin tahu Yanto untuk membacanya. Pria gemuk itu pun membuka halaman demi halaman buku itu dan kemudian menyadari sesuatu.
“Doni !!”
================================================================
Suasana musim gugur masih mendominasi dengan warna jingga, merah, dan coklatnya. Hawa dingin mulai bertiup karena musim dingin yang akan segera datang. Anas merapatkan jaket biru langitnya, mencoba mengusir hawa dingin. Sesaat kemudian dia tersenyum melihat Doni yang telah berjarak beberapa meter darinya.
“Ya ampun nas, lihat rambutmu dipenuhi
dengan daun kering,” ujar Doni sambil menarik beberapa daun dari rambut hitam Anas.
“Ah, benarkah?”
Doni duduk di sebelah Anas sambil terus menerus tersenyum.
“Ada apa don? Kelihatannya kau sudah ceria kembali,”
“Ada sesuatu yang membuatku gembira,” sahut Doni sambil menoleh ke arah Anas dan kembali tersenyum.
“Apa itu? Apa telepon dari ibumu?”
“Bukan,” Doni menggeleng pelan dan tersenyum lagi, membuat Anas mengernyit bingung.
“Sekarang justru kau yang murung, ada apa dit?” tanya Doni begitu mendapati Anas yang terlihat gelisah.
“Aku kehilangan sesuatu,don. Padahal barang itu cukup penting, bisa gawat jika ditemukan orang lain,”
“Ah..” Doni memekik pelan dan membuka
tasnya. Lalu mengeluarkan buku ungu milik Anas.
“Inikan?” ujarnya seraya menyodorkan buku itu ke Anas.
“Apa..?! Ba..bagaimana..” Anas menarik buku itu dengan cepat. Dia merasakan aliran darahnya berdesir cepat dan jantungnya seperti mau melompat keluar.
“Nas, sepertinya aku menemukan pengirim surat-surat itu,” tukas Doni sebelum Anas
melanjutkan kata-katanya. Anas menundukkan kepalanya dan meremas jari-jarinya dengan gelisah.
“Kumohon jawab pertanyaanku, nas,” lanjut Doni dengan lembut. Dia bangkit dari duduknya dan berlutut di depan Anas
“Kau adalah pengirim surat itu kan?” tanya Doni tenang.
“Bukan!” Anas menggeleng kuat-kuat.
“Lalu kenapa puisi-puisi di bukumu sama dengan di surat itu?”
“Itu…itu karena aku menyalinnya kembali di bukuku,” sahut Anas, menghindari tatapan mata Doni.
Doni menggeleng pelan.
“Tidak mungkin, Nas. Dan ini… maaf aku telah lancang membacanya,”
Doni membuka halaman buku itu dan menunjukkannya
ke Anas. Sementara Anas membuang muka.
“Sekarang jawab ini nas, apakah kau menyukaiku?”
Tubuh Anas menegang, matanya mulai berkaca-kaca. “Maafkan aku don. Aku tahu ini salah,” Anas bangkit dari duduknya dan bersiap pergi.
Doni langsung menahan tangan wanita itu.
“Kumohon jangan pergi,” lirih Doni.
Anas melepas pegangan tangannya dengan pelan, tapi Doni justru semakin mengeratkan pegangannya.
“Don, aku tidak ingin persahabatan kita rusak karena perasaanku. Aku tahu kau tidak menyukaiku, jadi lebih baik jika aku memendam perasaanku dan..”
Doni tersenyum kemudian menarik tangan
kanan Anas dan membuat mereka saling berhadapan.
Dia menghela nafasnya sejenak kemudian sebelum akhirnya memberanikan diri menatap Anas tepat di
manik matanya. “Kau tahu? Hatiku, pikiranku, semuanya
telah kau ambil alih tanpa sisa. Aku tidak bisa bila tanpamu nas. Tanpamu, aku hidup tanpa hatiku,
Aku menyukaimu Anastasia,”
Anas menutup mulutnya dengan tangan kirinya yang bebas, tidak menyangka bahwa pria di hadapannya akan menyatakan perasaannya. Dirasakannya kedua pipinya yang memanas dan detak jantungnya yang meloncat-loncat.
“Nas, apakah kau mempunyai perasaan yang sama denganku?”
Anas tersenyum samar. Perlahan dia mengangguk. “Ya don, aku juga menyukaimu,”
Sontak air muka Doni berubah cerah. Kedua matanya berbinar dan ada kehangatan di senyumnya.
“Terima kasih telah peduli denganku selama ini, nas”
Doni memeluk Anas dengan erat.
“Ya,” Anas tersenyum dan melingkarkan tangannya ke pinggang Doni yang berdiri di depannya.

THE END

Prolog….:
“Oi don! Lihat apa yang aku temukan! Kau tidak akan mempercayainya! Cepat kesini!” teriak Yanto heboh sambil terus membuka-buka halaman buku milik Anas. Membuat beberapa pengunjung cafe menatapnya heran.
“Ada apa?” tanya Doni murung.
“Ini, kau harus membacanya!” sahut Yanto, membiarkan buku itu berpindah dari tangannya.
Mata Doni membulat tatkala membaca kalimat demi kalimat yang tertulis di buku itu.
“Jadi, Benar! nona Anas adalah penulis surat itu, dan yang terpenting dia juga menyukaimu!” Yanto melonjak senang.
Doni tertegun, matanya kembali menelisik halaman yang tengah dia buka. Sejenak kemudian dia tersenyum.


                                                                                    
                                                                                                    Jakarta 29st October 2013

Halo, Doni^^
Ada beberapa hal yang ingin kukatakan  padamu…

Semenjak kau tidak mendapat surat itu lagi, aku sering melihatmu melamun dan jarang tersenyum.
Maaf, aku telah membuatmu sedih. Seharusnya sejak  awal aku tidak mengirim surat-surat itu jika pada
akhirnya aku tidak berani jujur padamu. Aku tidak bermaksud membuatmu  kebingungan, hanya saja aku tidak mungkin berterus  terang. Aku tidak ingin kejadian ini merusak  persahabatan kita. Tidak apa-apa kan jika aku  mencintaimu dengan cara seperti ini? Tidak masalah  jika selamanya aku hanya menjadi sahabatmu asalkan  aku bisa terus melihatmu dan berada di dekatmu.  Setiap kali ada wanita-wanita di sekolah yang mendekatimu, aku jadi merasa tidak pantas  untukmu. Kau ini begitu istimewa. Jika dibandingkan mereka aku tidak memiliki sesuatu yang lebih.  Mungkin ini adalah jalan paling baik untuk kita  masing-masing, tapi aku tidak akan pernah berhenti  untuk menyukaimu. Jeongmal saranghaeyo, semoga kau  selalu bahagia Doni^^”

Best wishes

Love Capsule

Aku berjalan menelusuri pertokoan di dalam Grand Indonesia. Mataku tak henti-hentinya bergeriliya melihat pakaian-pakaian yang terpampang rapi dalam manekin-manekin butik. Inilah
hal yang biasa kulakukan jika aku memiliki banyak waktu luang. Pergi ke pusat-pusat perbelanjaan, berkeliling sendirian dan jika menemukan barang yang bagus maka aku akan membelinya.

Namaku adalah Febriana. Aku tinggal di kawasan Depok bersama Kakakku. Sejak kecil, kami tinggal bersama kakek dan Nenek. Ketika Kakakku
dewasa, barulah aku tinggal bersamanya. Jarak usiaku
dan Kakku terbilang cukup jauh, usiaku 19 tahun dan Kakakku 27 tahun. Sehari-harinya Kakak bekerja di perusahaan multinasional keluarga kami. Ayah dan
Ibu berada di luar negeri juga mengurus
perusahaan kami. Di apartment yang cukup untuk menampung satu grup berisi 7 member beserta managernya, hanya aku seorang yang paling sering berada di sana, membosankan bukan? Untuk itulah aku sering berkeliling tempat ramai sendirian.

Selain berkeliling di tempat ramai, aku juga mempunyai hobby yang bisa dibilang cukup aneh. Bahkan Jessica, sahabat terdekatku sekalipun mengatakan
hobby itu sangat aneh dan aku melakukannya sejak aku duduk di kelas 2 SMA. Barang-barang yang aku beli
saat berkeliling tidak hanya barang-barang wanita, tapi juga barang-barang pria seperti kaos, sneakers, aksesoris dan sebagainya. Itulah hobby anehku.

Seperti yang kulakukan saat ini. Mataku menangkap sepasang sneakers yang dipajang sebuah toko. Tanpa ragu, aku masuk ke dalam. Ku perhatikan tiap detail sneakers tersebut dan aku jatuh cinta padanya.

“Ehm mba', aku mau sepatu ini,bisa ambilkan aku ukuran 42?”

“42? Sepertinya itu terlalu besar untuk kakimu mbak?” pelayan toko bertanya dan aku hanya menjawabnya dengan senyuman. “Ah! untuk kekasihmu kan?” lanjutnya ikut tersenyum.

“Bukan, ini untuk koleksiku” jawabku.

“Kau mengoleksi sepatu pria?” tanyanya heran.

“Yap, seperti yang kau dengar” masih dengan senyumanku “bisa kau ambilkan sepatunya?”

“Oh, baiklah akan saya ambilkan” lalu pelayan itu meninggalkan aku.
Aku beranjak menuju kasir dan menyelesaikan pembayaran.

KRIIING KRIIIIING KRIIIING KRIIIING
Handphone-ku berdering. Jessica tertera di layar ponselku.
“Halo jes”
“Ebii, kamu ada dimana?”
“Aku ada di G I”
“Bisa kita bertemu? Aku akan menunggumu di tempat biasa. Aku sedang bosan”
“Baiklah”
“Aku berangkat sekarang ya”
“Oke”
“ttuuut ttuut ttuuut”

“Terima Kasih, datang kembali ya” ujar pelayan toko sambil memberikan barang belanjaanku yang aku jawab dengan anggukkan ku. Aku bergegas ke mobilku dan memacunya menuju toko roti di kawasan Sarinah.

Setelah sekitar 15 menit berkendara. Aku memarkir mobilku dan bergegas masuk ke dalam.

CKLIING CKLIING
Suara pintu toko berbunyi ketika aku masuk ke dalam. Aku melihat sosok Nana yang tengah asik memainkan ponselnya.

“PLAAAK” aku memukul kepalanya dengan sepenuh hatiku.
“YAK! Aduuuuhh!!!” teriaknya sambil memegangi kepalanya yang kupukul.

“Ada apa memanggilku?” tanyaku langsung yang kinitelah duduk di hadapannya.

“Sudah kukatakan kan? Aku b o s a n” jawabnya dengan mimik wajah yang di dramatisir.

“Menggangguku saja”

“Apa? Mengganggumu?” ujarnya seraya melihat paperbag yang kubawa. “Ah kau sedang berbelanja ya?” tanyanya.

Aku hanya menggelengkan kepala.

“Lalu?” lanjutnya. “AH!!! Hobby anehmu itu lagi pasti ya? Benar-benar gadis aneh” ujarnya seraya
menggelengkan kepalanya dan mengangkat kedua tangannya. Lalu dia melipat kedua tangannya di meja dan menatapku lekat-lekat.
“Eh bi, dengar. Aku tahu uang bukanlah masalah untukmu, tapi apakah normal seorang perempuan membeli barang barang laki-laki? Mau kau apakan barang-barang itu? Bahkan sejak SMA kau tidak memiliki kekasih untuk kau berikan hadiah. Tidakkah kau lihat kotak besar di kamarmu itu sudah terisi penuh dengan semua koleksimu? Bukankah itu berlebihan?”

“Aku bisa memberikan barang itu pada Kak fio” jawabku datar.

“Kau jelas tau bahwa barang-barang tersebut berbeda ukuran dengan Kak Alifio dan jelas bukan gayanya” lanjutnya lagi.

“Entahlah aku hanya mengikuti hasratku” ujarku.

“Selalu jawaban itu, yasudah ayo kita habiskan malam panjang ini!” serunya dan menggandeng tanganku pergi.

xxx

CKLEK
Aku membuka pintu kamarku megedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar. “Huuuh…” aku mendengus lemah
saat mataku terhenti pada sebuah kotak persegi panjang berukuran 1 meter x 0.5 meter dan setinggi pahaku itu, kotak yang dimaksud oleh Jesiica dan benar…
kotak yang terisi oleh koleksi hobby ‘aneh’ku.
Sebenarnya aku punya alasan kenapa aku menyimpan barang-barang ini, aku ingin memiliki kekasih yang bisa memakai barang-barang ini nantinya. Aku berjalan
mendekat ke arah kotak itu dan membukanya. Aku mengeluarkan semua barang yang ada di dalamnya. Kau mau tau apa saja isi kotaknya? Aku akan berbaik hati menyebutkannya. Ada banyak kaos, celana, kemeja casual dengan berbagai macam warna dan model, jam tangan, beberapa pasang sepatu yang baru saja kutambah koleksinya dan aksesoris. Yang anehnya
tanpa kusadari semuanya memiliki ukuran yang sama. Aku tidak pernah dengan sengaja menyebutkan ukuran yang sama setiap kali aku membeli sesuatu, itu terjadi begitu saja.

CKLEK
Pintu kamarku terbuka. Aku menoleh ke arah pintu.
Sosok Kak Alifio sedang berdiri mengamatiku seraya tersenyum ketika aku melihatnya.
“Kapan dia datang?” kataku dalam hati.
“Ah aku bukan kakak yang baik ya? Sepertinya Adikku ini sangaaaat kesepian, sampai-sampai dia mengumpulkan banyak sekali barang barang pria” goda Kak fio sembari menghampiriku.

“Eiyyy kak! Jangan menggodaku!” jawabku ketus.

“Lalu kalau tidak kesepian, alasan apa yang akan kau berikan untuk semua ini?” tanyanya. “untukku? Ini bahkan bukan ukuranku” lanjutnya lagi saat mencoba
salah satu celana jeans.
“YAAAAK KAKAAAAK!!!!! JANGAAAAN!!! LEPASKAN CELANA ITU”
aku berteriak kaget setengah mati dan langsung menarik celana itu dari kakinya sampai…
“GABRUKKKK”. Kak Fio kehilangan keseimbangan saat aku menarik celana yang dicobanya.

“ADUDUUUH! ! Kenapa kau ini” teriaknya kepadaku. Seketika aku langsung
bertekuk lutut di hadapan Kak Fio meminta maaf.
“Aku minta maaf deh. Sungguh aku minta maaf. Aku tidak bermaksud begitu, hanya saja aku sangat terkejut
karena kak memakai celana itu” sesalku.

“Aish kau ini benar-benar ya. Yasudah tak apa kali ini Kakak maafkan tapi lain kali awas kau ya”

“Iya kakak”

“Lagian untuk apa sih semua barang ini?”
“Tidak apa-apa kak, hanya saja aku ingin membeli barang-barang ini. Setelah membelinya aku merasa bahagia” jawabku menerawang.

“Eh? Dasar wanita aneh” komentar Kakak Fio.

“Oh iya kak, aku akan ke Pulau Tidung besok”

“Mau apa kau ke sana?”

“Aku Aku ingin menyegarkan pikiranku, bolehkah?” izinku padanya.

“Asalkau bisa menjaga diri itu boleh saja” jawabnya.

“Yasudah kakak pulang hanya mau mengambil pakaian. Sebelum berangkat besok kau mampirlah dulu ke
kantorku, bisa?”

“Bisa kak”

“Selamat malam” pamitnya sambil mengelus kepalaku.

“Selamat malam kak”
Aku merapikan kembali koleksi hobby ‘aneh’ku itu ke dalam tempatnya. Setelah itu aku packing barang- barang yang akan kubawa besok dan kemudian aku pergi mandi.

xxx

Aku bangun tepat pukul 05.00 pagi. Setelah bersiap dan sarapan akupun bergegas menuju kantor Kakak di kawasan Sudirman. Aku berjalan menuju halte bus sambil menghirup udara pagi yang segar. Aku mengedarkan penglihatanku ke setiap sudut jalan, udara pagi ini cukup dingin dan masih sedikit orang yang berlalu lalang di jalan, mungkin karena hari ini adalah hari libur. Dan saat ini hanya ada seorang pria yang
tertidur di halte bus dengan kepala bersandar pada tiang halte di hadapanku. Aku memperhatikannya
sekilas dan berusaha menghiraukannya. Pria itu memakai kaos putih yang ditumpuk dengan hoodie berwarna biru langit yang menutupi kepalanya, celana
jeans panjang, sepasang sneakers klasik dan tas ransel yang cukup besar. Dari penampilannya jelas dia bukanlah seorang gelandangan. Walaupun begitu, tetap
saja sesekali aku melirik ke arahnya. Setelah beberapa saat bus yang aku tunggu datang. Aku bangun dan bersiap masuk ke dalam bus. Saat aku menoleh
kepada pria tadi, aku terlonjak kaget karena entah sejak kapan dia sudah ada di belakangku. Sedikit salah tingkah, akupun bergegas masuk ke bus dan begitupun pria itu.

xxx

“Kakak” panggilku

“Aah ebi,silahkan” jawabnya sambil
mengalihkan pandangannya dari setumpuk kertas di mejanya dan menatapku.
Kak Fio beranjak dari kursinya dan menyuruhku duduk di kursi tamu.

“Sebentar, aku ambil sesuatu dulu”. Kemudian dia terlihat mengambil sebuah kotak dan memberikannya padaku. “Hadiah untukmu” menyodorkan kotak itu
kepadaku.

“Ini apa?” ujarku.
“Buka saja” balasnya.
“Wah kak, ini sangat bagus! Tapi bukankah ini untuk pria?” Kak fio memberikan sebuah gelang handmade terbuat dari kulit sapi berwarna coklat yang ditali temali dengan sangat rapi.
“Anggap saja itu permintaan maafku karena memakai celana itu. Aku membeli itu sewaktu aku di Jogja sebulan yang lalu tapi aku baru sempat memberikannya
padamu sekarang karena aku jarang pulang. Maafkan aku ya yang kurang memperhatikanmu, padahal aku yang
memintamu pindah dari rumah nenek ke tempatku”
“Terima kasih,Aku tidak apa-apa, kakak telah menjagaku dengan sangat baik” ucapku sambil memeluknya.

“Aku harap begitu” Kak fio balas memelukku.

“Yasudah aku berangkat dulu ya kak”

“Ya hati-hati di jalan. Kalau ada apa-apa kabari aku, menegerti?”

“Mengerti kak !”

Aku keluar dari gedung kantor yang cukup megah itu dan langsung menuju Pelabuhan dengan menggunakan taksi. Sesampainya di sana, aku langsung
membeli tiket kapal menuju Pulau Tidung.

xxx

Aku duduk di kursi kereta dekat jendela. 5 menit lagi kapal ini akan berangkat menuju Pulau Tidung dan hampir semua kursi penuh di dek ini.Dari kaca jendela kulihat seorang Pria berlari terengah-engah menuju kapal ini. Tepat sebelum kapal bernagkat, diapun masuk dan sedetik kemudian kereta ini berangkat. Pria itu mengedarkan pandangannya ke penjuru bagian, sepertinya dia sedang mencari kursi kosong. Sekarang pria itu tengah memperhatikanku, aku menatapnya sekilas lalu melihat sekelilingku dan ternyata hanya kursi di sampingku yang kosong. Dia menghampiriku.

“Maaf, apa aku boleh duduk di sini?” dia berkata padaku. Aku menatapnya dan menjawabnya dengan anggukan.

“Terima kasih” ujarnya sambil sedikit
membungkukkan badan. Untuk beberapa saat aku tidak henti-hentinya melirik pria itu. Anehnya aku merasa tidak begitu asing dengannya. Karena rasa penasaranku, aku memberanikan diri untuk melihatnya terang-terangan. Aku menolehkan kepalaku kearahnya dan… “omg!” aku
berteriak kecil. Kepala pria itu mendarat sempurna di bahuku. Rupanya dia tertidur. Aku memiringkan kepalaku untuk melihat wajahnya. Mataku membulat saat menatap wajahnya. Wajah yang mungil, bola mata
bulat yang kini tengah tertidur, hidung mancung dan bibir mungilnya berkolaborasi indah membentuk garis
wajah yang hampir sempurna. Tidak tahu apa yang harus kulakukan, akhirnya aku membiarkan saja pria itu tidur di bahuku.

“Kau sudah bangun?” suara lembut menyapaku saat aku membuka mata. Aku mencari asal suara itu dan ternyata pria itu pemiliknya.

“Uhm..” aku menjawabnya dengan gumaman. Sepertinya dia habis ke toilet, pikirku.
“Ehm, sepertinya tadi aku tertidur di bahumu, maaf ya aku tidak bermaksud begitu” ucapnya seraya kembali duduk di sampingku.

“Ya begitulah, tidak apa-apa” jawabku. Lalu aku teringat lagi akan sosoknya yang tidak asing ini. “Maaf, apa kita pernah bertemu sebelumnya?” aku bertanya
kepadanya. “Sepertinya ini pertemuan pertama kita, memangnya kenapa?”

“Entahlah sepertinya aku pernah melihatmu. Di mana kau tinggal?”

“Aku? Aku baru saja pindah ke Depok sekitar sebulan yang lalu”

“Ah! aku ingat! Kau tadi juga tertidur di halte bus dekat apartment di Depok kan?” aku menyadari bahwa pakaian pria ini dan pria di halte itu sama.

“Eoh? Kau melihatnya ya? Hehehe”
pria itu menggaruk kepalanya.
“Aku memang mudah tertidur apalagi kalau hanya seorang diri. Tadi aku hampir ketinggalan kereta juga karena tertidur. Oh iya perkenalkan, namaku Rianto” ujarnya tersenyum dan mengulurkan tangannya padaku.

“Rianto? Kau dari Jawa ya? Aku pikir kau orang Bandung” menyambut uluran tangannya
“Aku baru pindah ke Depok kemarin karena orang tuaku juga ikut pindah ke sini. Bisnis” ungkapnya.
“Oh begitu, namaku Febriana”
“Salam kenal ya” ucapnya sambil tersenyum manis menatapku.

-Rianto POV-


“Salam Kenal. Kulihat kau suka laut ya” aku mengucapkannya sambil tersenyum menatapnya.

“Heh? Kau tahu?” balasnya kaget. Dan kali ini nampaknya dia cukup tertarik dengan pembicaraan ini.

“Aah kebetulan saja” masih dengan senyuman di bibirku.

“Ayah dan ibuku sangat menyukai laut, mereka sering menghabiskan waktu bersama di pantai bahkan sejak pertama kali mereka bertemu tempat itu adalah
pantai.

“Dan kau juga menyukai laut?” tanyaku.

“Ya, aku sangat menyukainya. Aku bisa menghabiskan banyak waktuku hanya untuk duduk di pinggir pantai memandang jauh ke laut yang tampak biru berkilauan”

“Apa sekarang kau akan menuju Pulau Tidung?”

“Begitulah. Kau sendiri mau kemana?”

“Sama sepertimu hahaha”

“Benarkah? Hahaha” dia terkejut dan ikut tertawa bersamaku.

Yaa… setelah perbincangan yang tadi kami menjadi cukup dekat satu sama lain. Aku mengajaknya berlibur
bersama saat di Tidung nanti dan Febriana menyetujuinya. Entah kenapa aku sangat senang bisa bertemu dengan Febriana, hingga senyuman seolah
tidak mau pergi dari bibirku.

xxx

Aku sedang merapikan diriku di depan kaca. Hari ini adalah hari keduaku berada di Tidung. Hari ini aku dan
Febriana sepakat akan menghabiskan waktu bersama. Kami berjanji bertemu di restoran pinggir pantai Tidung yang jaraknya tidak terlalu jauh dari hotel
kami masing-masing.
Apa yang terjadi? Aku hanya sedang duduk menunggu Febriana tapi hatiku berdegup cukup kencang. Aku memegang dadaku dan mencoba mengatur nafasku.

“Ada apa sih denganku?” ucapku dalam hati. Saat jantung ini belum mau kembali normal, suara lembut menyapaku.
“Haii Rianto” begitulah kedengarannya. Aku mengadahkan kepalaku dan… BINGO! Sosok Febriana muncul di hadapanku. Tampak sangat manis. Tubuhnya terbalut casual blouse tanpa lengan berwarna nude pink sepaha dipadukan dengan short pants berwarna putih dan sandal jepit tipis berhias batu alam.

“Eh Febriana sudah datang“ aku berdiri menyapanya.
“Ayo duduk dulu” aku menyuruhnya duduk. Diapun tersenyum dan duduk di hadapanku.

-Febriana POV-

Dari kejauhan aku melihat sosok Rianto yang tengah duduk menungguku. Aku berhenti sejenak dan memperhatikannya. Dia terlihat sempurna menyatu dengan pemandangan pantai yang indah. Fitted jeans berwarna classic jeans dipasangkan dengan kaos oblong berwarna putih menunjukkan tubuhnya yang kurus namun tinggi itu.
“Wow, he looks good” pikirku. Dan
entah sejak kapan jantungku berdetak lebih cepat dan pipiku terasa panas. Aku menggelengkan kepalaku kasar mencoba mengembalikan pikiranku dan menghirup
nafas panjang. Aku pun menghampirinya.

“Haii Rianto” aku meyapanya. Dia sedang
tertunduk sambil memegangi dadanya.

“Eh Febriana sudah datang, Ayo duduk dulu” dia mengadahkan kepalanya kemudian berdiri dan mempersilakanku
duduk.

“Kau sudah lama menunggu?” tanyaku basa-basi.

“Tidak juga” jawabnya tersenyum.
“Apa yang ingin kau lakukan hari ini?” tanya Rianto kepadaku.
“Sepertinya olah raga air menyenangkan dan kita naik speed boat ya?” pintaku padanya.
“Kedengarannya bagus, ayo kita lakukan” dia meraih tanganku dan langsung mengajakku ke pantai.

”Degeun degeun degeun degeun” jantungku berdetak sangat kencang ketika tangan Rianto menyentuh tanganku. Ya tuhan ini adalah pertama kalinya seorang pria menggenggam tanganku selain Kak Fio.
“Eh maafkan aku, aku terlalu bersemangat” Rianto menyadari bahwa dia menggenggam tanganku dan melepaskannya. Suasana aneh sesaat menyelimuti kami. Kami menghindari tatapan satu sama lain.
“Wah bagaimana kalau kita naik itu?” Rianto memecahkan keheningan dan menunjuk Flying Fish yang sedang
terbang di atas pantai Tidung.

“Ayooo!” seruku berlari mendahuluinya.

“Yaaaa! Febriana tunggu akuuu!” dia mengejarku dari belakang.
Kamipun berlari menuju tempat permainan air, tertawa bersama dan mengejar satu sama lain. Sepertinya kami melepaskan semua beban dan menikmati hari ini.
Petugas membantu kami berdua memasangkan pelampung. Setelah semua pengaman selesai dipasang kami menaikki balon yang berbentuk seperti ikan pipih
itu dan mengatur posisi kami.

“Akan lebih baik jika kalian saling berpegangan tangan” ujar petugas.

“Eoh?” komentar yang keluar dari mulutku.

“Akan jauh lebih aman” lanjutnya.
“Baiklah” Rianto menjawab dan langsung menggenggam tanganku… lagi. Kini otakku benar-benar tidak bisa bekerja dengan
baik. Selain aku cukup gugup karena aku akan diterbangkan diatas laut, ada tangan Rianto yang menggenggam tanganku saat ini. Dan permainanpun
dimulai.
“WAAAAAAAA!!!” aku berteriak cukup kencang ketika balon kami naik turun berulang kali ke udara dan kemudian menyentuh permukaan air. Badan kami juga ikut bergerak ke kanan dan kiri.

“HAHAHA, MENYENANGKAN BUKAN?” Rianto berteriak kepadaku. Kami harus berteriak agar suara kami terdengar, karena suara angin dan mesin speed
boat yang cukup kencang.
“TAPI INI CUKUP MENEGANGKAN” kataku.
“TENANGLAH, TIDAK AKAN KENAPA-KENAPA” teriaknya menenangkanku.
Apa ini hanya perasaanku,
tapi sepertinya Rianto mengeratkan genggamannya padaku. Lucunya tubuhku ini menerima perlakuannya padaku.

Hari ini terasa sangat menyenangkan, aku dan Rianto tak henti-hentinya melakukan aktivitas yang membuat
kami merasa senang. Bercanda, berkejar-kejaran, berfoto bersama bahkan membangun istana pasir bersama. Tidak terasa senja sudah menyapa kami,
suasana pantai pun sudah tidak seramai tadi. Kami duduk di atas pasir putih ini sambil menatap jauh ke langit senja. Diam cukup lama menyelimuti kami.
“Rianto, terima kasih ya untuk hari ini, aku senang sekali” aku memecah keheningan di antara kami.

“Sama,akupun juga senang” dia tersenyum menatapku. Tiap kali senyumannya itu muncul,
bibirkupun seperti tersihir untuk ikut tersenyum.

“Apa besok kau mau melakukan hal lain bersamaku lagi?” ajaknya.

“Tentu” aku menganggukan kepalaku bahagia.

“Baiklah, tujuan kita besok adalah pulau di dekat tidung, setelah itu kita bisa makan seafood di pasar dekat pantai, kau mau?”
“Mauuu” aku menyetujui idenya. Sepertinya menyenangkan pergi ke tempat-tempat itu bersamanya.

“Ayo kita pulang. Besokkan kita akan melakukan hal seru lagi, kau harus istirahat. Ayo aku akan mengantarmu ke Hotel”

“Tidak usah Rianto, aku bisa pulang ke Hotel sendiri” tolakku secara halus.

“Tidak apa, ayo. Oh iya berhentilah memanggilku Rianto. Cukup Yanto” katanya sambil mendorong tubuhku bergerak maju.

-Author POV-

Singkat cerita, malam itu Febriana dan Rianto merasa sangat bahagia. Senyum tak hentinya lepas dari wajah mereka. Mereka sedang tenggelam dalam rasa cinta yang mulai tumbuh tanpa mereka sadari. Masing-masing sedang membayangkan hal seru apa lagi yang akan mereka lakukan besok.

xxx

-Rianto POV-


Aku duduk di lobby hotel tempat Febriana menginap dan menunggunya selesai bersiap. Hatiku tidak sabar
menunggu kedatangannya.
“Padahal aku kan hanya akan berjalan-jalan biasanya dengannya, tapi kenapa
gugupnya seperti aku akan melakukan dating dengannya” pikirku.
Sesaat setelah pikiranku itu hilang, Febriana datang menghampiriku.

“So gorgeous, always” kataku dalam hati saat menatapnya.

“Kau sudah siap?” tanyaku.

“Seperti yang kau lihat”

“Ayo berangkat”


-Author POV-

“Kau ingin membeli sesuatu?” tanya Rianto kepada Febriana.
“Entahlah, mungkin nanti kalau ada sesuatu yang bagus” jawab Febriana tersenyum.

“Yasudah ayo kita jalan-jalan dulu” kali ini tanpa ragu Rianto menggandeng tangan Rianto. Sadar bahwa Febriana tampak salah tingkah Rianto memberikan alasan
“Ini agar kau tidak hilang di tengah keramaian” jelas Rianto sambil mengangkat tangan mereka.
Tanpa saling menyadari mereka berdua sama-sama tersipu.
Dikejauhan samar-samar terdengar suara nyanyian, Febriana menoleh ke kanan dan ke kiri mencari asal suara tersebut.

“Kau mencari sesuatu?” Rianto menyadari tingkah Febriana.

“Bukan, aku hanya sedang mencari asal suara nyanyian itu, kau mendengarnya?” tanya Febriana bingung.

“Lucu sekali tingkahnya ini” Rianto bergumam dalam hati.

"Iya aku mendengarnya. Sepertinya aku melihat sekumpulan orang di depan sana mungkin dari sana asalnya. Kau mau melihatnya?”

“Ayo!” seru Febriana bersemangat.
Sekumpulan orang tengah menonton pertunjukkan musisi jalanan Tidung. Sesorang tengah menyanyikan lagu-lagu romantis dengan alunan gitar akustiknya.
Pemuda itu telah selesai menyanyikan lagunya dan tepuk tangan dari penontonpun terdengar riuh. Begitu
juga dengan Febriana,dia tampak sumringah melihat penampilan pemuda tadi.
“Terima Kasih, Terima Kasih” kata pemuda itu sambil membungkukkan badannya.
“Selanjutnya aku ingin beristirahat dan selagi aku beristirahat, adakah diantara kalian yang ingin menyanyikan sebuah lagu? Aku dengan senang hati akan mempersilahkannya maju ke depan” katanya ramah.
“Aku mau…” seseorang mengajukan dirinya. Dan orang itu tidak lain adalah Rianto. Febriana hanya terpaku bingung ketika Rianto mengangkat tangannya. Namun belum sempat ia tersadar sepenuhnya Rianto telah membawa dirinya maju ke depan.

“Wah, kita mendapat seorang sukarelawan” kata pemuda itu menyambut Rianto.
“Rianto, apa yang kau pikirkan? Memangnya kau bisa menyanyi?” tanya Febriana cemas.
“Kita lihat nanti oke?” jawab Rianto. “Sekarang tugasmu adalah berdiri di hadapanku dan perhatikan aku” lanjutnya sambil menggenggam bahu Febriana

“Nah siapa namamu?” tanya pemuda tadi.
“Rianto”
“Oh! Kau bukan orang sini ya?”
“Bukan hehe”
“Baiklah, silahkan dimulai”
“Pertama-tama saya mau bilang kalau lagu ini akan saya persembahkan untuk seseorang yang tidak sengaja kukenal karena dia melihatku tertidur sembarangan dua kali haha” kata Rianto tertawa dan kemudian dia mulai memetik gitarnya.

Febriana tertegun mendengar lantunan lagu yang dinyanyikan oleh Rianto.
“Ini, lagu cinta kan?” pikir Febriana.
Febriana mencerna makna demi makna dari lagu tersebut.

(Will the day I hold her hand ever come?)

(Will the day I kiss her above her closed eyes also come?)…

(Hello hello please give me a chance)

(Hello Hello I don’t know how you feel right now)

(Who knows? Two of us might be destiny)


Tenggorokan Febriana terasa kering saat lirik lagu ini terlontar dari mulut Rianto, tapi bagian tubuh Febriana bereaksi lain. Matanya terlihat berbinar, senyum simpul terulas di bibirnya dan semburat merah muda tampak menghias pipinya. Di sisi lain, Rianto yang tengah bernyanyi dan memetik gitarnya tidak hentinya
memandang Febriana di hadapannya. Rianto kini tengah berusaha menyampaikan perasaannya kepada Febriana.

(Hello, the times I spent by your side)

(Can no more compare to any other happiness)

(I can’t express myself to you)

(My heart wants all of you, never let you go)

(If this is love, I’ll never let you go)

(Who knows? The two of us)

Hello Hello


Rianto mengakhiri lagunya dengan kemampuan rapping-nya. Sorak-sorai penonton menyambutnya dengan penuh
antusias. Rianto membungkukkan badannya untuk seraya berterima kasih atas antusias penonton. Febriana mengacungkan dua jempolnya kepada Rianto saat dia
menatapnya senang dan menjawabnya dengan anggukan riang dan senyum yang seolah tiada habisnya itu.

“Aku tidak tau kalau kau bisa bernyanyi sebagus itu” kata Febriana sambil menikmati es krim di tangannya.
“Akupun juga tidak tau, biasanya tidak sebagus itu haha”
“Eiy jadi kau mulai sombong ya?”
“Ahaha aku hanya bercanda, lagipula bukan itu maksudku. Mungkin aku bernyanyi berbeda dari biasanya karena tadi aku menyanyikannya untuk seseorang” jawab Rianto entah polos entah sengaja agar Febriana menyadarinya.
“Hehehe” Seolah dia tau maksud Rianto, Febriana tidak tau harus menjawab apa.

“Bagaimana kalau sepulang nanti kita mampir lagi ke pantai?” ajak Rianto.

“Uhm..” tanda setuju Febriana

xxx

Sekarang keduanya tengah menikmati angin sore pantai yang berhembus lembut menerpa wajah mereka. Mereka duduk di pinggir pantai dalam diam, tenggelam
bersama isi pikiran mereka masing-masing.

-Febriana POV-

“Kenapa dia diam saja sih? Apa yang sedang dia pikirkan? Diam seperti ini malah membuat degup jantungku tak beraturan begini. Ah! Ada apa sih
denganku? Apa mungkin aku menyukainya? Tapi aku baru mengenalnya 3 hari yang lalu. Tapi cinta tidak mengenal waktu kan? Jadi apa aku boleh berharap?”

-Rianto POV-

“Sudah senja ya… Kuharap matahari tidak akan buru- buru pulang ke peraduannya. Aku masih ingin menikmati
sisa hari ini bersama Febriana. Aku ingin tau apa yang sedang dia pikirkan, tentangku… Aku rasa aku menyukainya, benar-benar menyukainya. Bahkan aku
merasa aku bukan aku yang biasanya. Tapi aku menyukainya…”

-Author POV-

“Febriana!” Rianto tiba-tiba mengejutkan.
Febriana yang terkejut karena tiba-tiba Rianto memanggil namanya di tengah kesunyian mereka berdua memegangi dadanya dan menatap Rianto kesal

“Hahaha kau kaget ya?”

“Huh menurutmu?” dengus Febriana kesal.
“Hahaha maaf,maaf. Memangnya apa yang kau pikirkan sampai sampai kau diam bengong begitu? haha”
“Ah, bukan. Ga ada apa apa kok” jawab Febriana salah tingkah.

“Kalau aku ada” lanjut Rianto.

“Eoh?”

“Aku sedang memikirkan bagaimana caranya aku menjelaskan kepadamu bahwa lagu yang tadi aku nyanyikan untukmu itu adalah perasaanku yang
sesungguhnya. Tapi aku bingung bagaimana caranya menyampaikannya padamu” ujar Rianto.

“Ehm.. Yanto… bukankah sekarang kau sudah mengatakannya padaku?”

“AH!” Rianto menepuk kepalanya “bodohnya aku” pikir Rianto dalam hati. “Padahal aku ingin memikirkan cara
yang keren untuk mengatakannya”

“Hahahaha yanto, kau ini lucu ya” komentar Febriana.
“Aku pikir cara kau mengatakannya cukup keren. Kau mengatakannya begitu saja kepadaku secara tidak sadar. Dari situ aku bisa melihat kejujuranmu” lanjut
Febriana tersenyum menenangkan Rianto yang terlihat gelisah.

“Syukurlah… Jadi, apa aku boleh menyukaimu?” tanya Rianto perlahan tetapi pasti.
“Uh?”
“Aku tau mungkin ini terlalu cepat untuk mengatakan aku suka padamu makanya aku lebih memilih bertanya padamu apa aku boleh menyukaimu, jadi apa jawabanmu?”

“Who knows? Two of us might be destiny” jawab Febriana penuh arti yang membuat wajah Rianto dipenuhi rona bahagia.
“Kau tidak boleh lari ya bi” Rianto menarik Febriana ke dalam dekapannya, sedangkan Febriana terdiam dalam dekapan Rianto. Namun sosok mereka
menciptakan siluet indah di bawah sinar lembayung senja pantai Tidung.

xxx

-Febriana POV-


Aku menatap pantulan diriku dalam pantulan kaca coffee shop, berulang kali merapikan penampilanku. Hari ini aku akan bertemu Yanto setelah dua minggu
sepulangnya kami dari Tidung. Ini pertemuan pertama kami setelah Rianto mengungkapkan perasaannya padaku. Entah kenapa ada dorongan dalam diriku untuk tampil cantik untuknya hari ini dan jantungku berdebar-debar seolah menghitung detik demi detik kedatangannya. Aku tidak bisa bohong bahwa memang aku juga menyukainya, hanya saja aku ingin lebih meyakinkan diriku tentang perasaan ini.

“Maaf apa aku boleh duduk di sini?” seseorang membuyarkan lamunanku. Aku menatap orang tersebut.
“Maaf tidak bisa aku sedang menunggu seseorang dan itu adalah tempatnya” jawabku.
“Kalau begitu ini adalah tempat untukku” lanjutnya seraya duduk di hadapanku.

“Kau cantik hari ini”

“Kau ini mau sampai kapan menggodaku to?”
“Hahaha aku hanya mengulang pembicaraan pertama kita di kapal bi"
“Lalu setelah itu kau ingin tidur lagi dipundakku?”
“Tentu tidak, karena hari ini aku ingin menggenggam tanganmu di sepanjang jalan”
“Jadi hari ini kita ke Cibinong?”
“Betul sekali, ayo kita berangkat”
Di sepanjang perjalanan aku dan Rianto bertukar cerita sepulangnya kami dari Tidung, bisa dibilang seperti saling melepas rindu kami. Satu jam perjalanan tidak terasa lamanya, aku merasa sangat
senang bisa bertemu lagi dengan Rianto dan berada di sisinya.
“Sebenarnya apa yang ingin kau cari sampai kita harus ke Cibinong?” tanyaku penasaran padanya.
“Ehehe sebenarnya tidak ada, saat aku bertanya pada teman jika aku ingin mengajak kencan seseorang tapi aku tidak mau orang itu menyadari bahwa ini adalah kencan kemana aku harus pergi,
temanku menjawab Cibinong” jelasnya yang membuatnya salah tingkah.
Aku tersenyum melihat tingkahnya.
“Aku rasa temanmu benar, ayo kita berkeliling dan aku rasa kita bisa makan sop duren dan kue pancong di sini”
sahutku.
“Ayo” kini tangan Rianto dengan otomatisnya menggandeng tanganku dan tidak ada reaksi penolakkan dari tubuhku ini.
Kami menyusuri pertokoan sepanjang jalan Pemda Cibinong yang cukup ramai karena hari ini akhir pekan. Beginikah rasanya jika kau pergi kencan? Aku
menyukainya. Berjalan bergandengan tangan, saling bercanda, berbagi makanan dan tertawa bersama. Jadi
mungkin aku memang telah menyukai Rianto sepenuhnya.

Kami memasuki sebuah toko yang menjual berbagai macam pakaian pria maupun wanita, mulai dari topi hingga sepatu. Sejenak kami berpisah saat di dalam
toko. Sepertinya Rianto sedang mencoba beberapa pakaian, sedangkan aku memilih berkeliling toko sambil menunggunya. Lagi-lagi aku terperangkap pada hobby
anehku. Kali ini mataku melihat sepasang sneakers pada sebuah manekin.

“Permisi, bisa aku melihat contoh sepatu yang seperti dipakai oleh manekin itu?” aku menghampiri pelayan toko.

“Sebentar mbak, akan saya ambilkan”

“Kau sedang apa?” tanya Rianto yang telah kembali.
“Aku sedang menunggu pelayan toko mengambilkan sepatu”

“Sepatu? Kau ingin membeli sepatu?”

“Sepertinya begitu”

“mbak, ini sepatu yang kau minta” pelayan toko menghampiri kami.

“Eh? Bukan kah ini keluaran xxx xxxxxxx tahun lalu?”

“Benar kak” jawab pelayan toko.

“Ah! Aku mencari sepatu ini kemana-mana. Aku mau sepatu ini ya, tolong ambilkan ukuran 42”

“42?” ulangku terkejut.

“Iya, ukuran kakiku 42. Ada apa?” tanya Rianto

“Ah tidak apa-apa” mungkin hanya kebetulan pikirku. Tapi ini kebetulan yang membuat hatiku sedikit
terguncang.

“Kau jadi membeli sepatu ini juga? Aku rasa ini kurang cocok kalau dipakai oleh wanita. Aku pilihkan yang lain ya!” seru Rianto.
Akupun hanya mengangguk.
“Bagaimana kalau ini?” Rianto menyodorkan sepasang flat shoes cantik dengan tangan kanannya. Mataku
membulat ketika melihat tangan Rianto, bukan karena sepatunya melainkan gelang yang melingkar di tangannya.

“To… gelang itu? Bukankah gelang itu gelang wanita?”

“Ahaha iya. Habisnya aku menyukai modelnya sih, jadi aku membelinya sebelum aku berangkat ke Depok”

“Aku punya pasangannya” ujarku dengan susah payah. Apakah ini kebetulan lagi? Otakku sedikit terganggu kali ini, aku tidak bisa memikirkan hal-hal rasional lagi.

“Benarkah? Kau tau tidak, toko di tempat gelang ini dijual hanya membuat gelang-gelangnya sepasang jadi gelang ini tidak akan kau temukan di manapun.
Saat aku ke toko itu, gelang ini hanya tinggal untuk wanitanya saja dan ternyata pasangannya ada padamu? Kenapa kau membeli gelang pria?”

“Kakakku yang membelikannya untukku”

“Tapi kenapa gelang pria?”

“Karena aku punya hobby yang cukup aneh, uhm to, bisa kita pulang sekarang? Aku sudah letih”
Ok ini mungkin memang hanya kebetulan. Tapi kebetulan ini benar-benar tidak masuk akal dan hanya membuat aku mengharapkan hal-hal aneh.
Aku diam disepanjang perjalan pulang. Otakku kembali berusaha mencerna kebetulan-kebetulan yang ada padaku dan Yanto. Ukuran sepatu itu biasa terjadi, ada berjuta pasang orang yang memiliki ukuran kaki 42. Tapi gelang itu, itu kebetulan yang jarang terjadi terlebih gelang itu hanya ada sepasang dan sama-sama di beli di Jogja dan orang yang membeli pasangan gelang itu saat ini ada di sampingku. Bolehkah?
Bolehkah aku semakin berharap Yanto bukan hanya orang yang aku suka? Tapi memang orang yang tepat untukku?
Kami sudah sampai di parkiran apartmentku.

“Apa kau mau mampir? Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan kepadamu” tanyaku pada Yanto.

“Sesuatu? Apa itu?”

“Nanti kau juga akan tau, bisakah?”

“Tentu”

Kami berdua keluar dari mobil dan menuju apartmentku.

-Rianto POV-

“Silahkan duduk, tunggu sebentar ya”

Febriana meninggalkanku di ruang tamu dan entah pergi ke mana. Sebenarnya aku cukup bingung kenapa tiba-tiba
dia bertingkah seperti ini. Apa karena gelang ini ya?
Tidak beberapa lama, Febriana kembali dengan membawa kotak yang berukuran cukup besar.
“Kotak apa itu?” tanyaku namun Febriana tidak menjawab apapun. Aku hanya memperhatikan apa yang dilakukannya sekarang.Febriana membuka kotak besar
itu.
“Ini pasangan gelang milikmu kan?”katanya sambil menyodorkan gelang di tangannya kepadaku.

“Iya benar sekali” aku mengamati detil gelang itu.

“Kakakku memberikannya padaku saat dia di Jogja kira-
kira hampir dua bulan yang lalu, waktu yang hampir bersamaan dengan kedatanganmu”

“Dan barang-barang itu?”

“Aku membelinya sendiri dan aku ingin kau mencoba ini” Febriana menyodorkan aku sepasang sepatu.

“Pas sekali” ujarku saat sepatu itu kupakai.

“Karena ukurannya adalah 42, begitu juga dengan sepatu yang lain”

“Kebetulan sekali ya haha”

“Dan sekarang aku ingin kau mencoba semua barang yang ada di kotak ini”

“Hah? Kau bercandakan?”

“Tidak kok, kau bisa memakai kamar itu untuk berganti”

“Baiklah” aku membawa kotak itu ke dalam kamar yang ditunjuk oleh Febriana.

Sebenarnya aku masih bingung dengan apa yang terjadi, tiba-tiba saja sikapnya jadi aneh dan memintaku untuk memakai semua pakaian ini. Tapi, semua barang-barang ini seukuran dengan ukuranku. Bukankah ini kebetulan yang aneh? Aku menatap diriku di kaca, aku sudah
mengganti pakaianku dengan pakaian yang ada di kotak milih Febriana dan anehnya semuanya pas padaku, mulai dari kaos sampai sepatunya. Aku beranjak keluar
kamar dan menghampiri Febriana.

“Febriana” panggilku

“Astaga!” Febriana terperangah saat menatapku.

“Bagaimana mungkin! Semuanya pas padamu?”

“Seperti yang kau lihat” jawabku. “Tapi sebenarnya ini punya siapa?”

“Semuanya adalah milikku. Aku membeli semua barang- barang itu karena itulah hobbyku” Febriana berhenti sejenak dan sekarang aku melihat matanya mulai
basah.
“Sejak SMA aku suka mengumpulkan barang- barang pria seperti yang kau pakai sekarang dan semua yang ada di kotak itu. ada beberapa hal yang
perlu kau ketahui adalah aku tidak pernah memiliki kekasih seumur hidupku jadi jelas itu bukan barang untuk mantan kekasihku. Kedua, aku hanya mengikuti
kata hatiku saat aku membelinya begitu pula dengan ukurannya. Ketiga, aku bertemu denganmu yang memiliki pasangan gelangku dan yang keempat, semua barang yang aku beli adalah dirimu. Untukmu mungkin ini hanya sebuah kebetulan biasa, tapi tidak untukku, karena barang-barang ini menyimpan harapanku, aku berharap suatu saat bisa memberikan barang-barang ini untuk kekasihku dan kemudian aku bertemu dirimu dan sekarang kau memakai harapanku di hadapanku”

Sekujur tubuhku kaku mendengar ucapan Febriana, mungkin ini memang kebetulan tapi adakah kebetulan yang seperti ini? Ataukah ini yang namanya takdir. Aku
menghampiri Haechan dan memeluknya.

“Maafkan aku, karena aku baru datang sekarang padahal kau sejak lama telah berusaha menemukanku. Sekarang kau bisa memberikannya semuanya kepadaku, karena mulai saat ini aku tidak akan pergi dari sisimu”

“Akhirnya aku menemukanmu” Febriana membalas pelukkanku.
Aku melepaskan pelukkan kami. Aku memegang wajah Febriana dengan kedua tanganku dan mensejajarkan mata kami. Aku menatap lekat manik matanya dan
secara otomatis kepala kami semakin mendekat dan aku mendaratkan bibirku tepat di bibirnya.

“Who knows? Two of us”
aku mengucapkannya disela-sela ciuman pertama kami dan kami tertawa mengingat lirik lagu itu.

_FIN_