Diberdayakan oleh Blogger.

XII-PH SMKN 62

XII-PH SMKN 62
@Jati Jajar <3

Pengikut

it's me..

Selasa, 22 Oktober 2013

Secret Sweet Letter

Angin musim gugur berhembus pelan di pertengahan bulan Oktober ini. Memberikan pemandangan yang khas di sudut-sudut kota Jakarta.  Daun-daun pepohonan tampak menguning dan perlahan  berubah menjadi kecoklatan lalu berjatuhan ke tanah.

Seorang wanita berseragam sekolah tampak  duduk dengan gelisah di bawah pohon Beringin yang mulai
kehilangan daunnya. Sesekali dia mengedarkan  pandangannya ke seberang jalan dan melirik ke jam
tangannya yang menunjukkan pukul empat sore.  “Dia selalu saja terlambat,” gumam wanita itu sambil menyandarkan punggungnya di batang pohon.  Tangannya bergerak membuka tas punggungnya lalu mengeluarkan sebuah buku catatan kecil bersampul ungu muda dan sebuah pensil yang tingginya hanya beberapa centimeter karena sudah terlalu lama dipakai.

Musim gugur memberikan kesan kering dan coklat.  Daun-daun berguguran meninggalkan dahannya, yang sejak musim semi dan panas kemarin telah mempertahankannya. Kau adalah pohon itu dan aku adalah daunnya.  Kau telah berhasil menggugurkan sesuatu dalam diriku.  Meski pohon itu kehilangan daun-daunnya namun daun-  daun itu tetap berguna. Dan aku ingin selalu berarti  untukmu…

“Ehem..”
Tanpa wanita itu sadari seorang pria telah  berdiri di sampingnya dengan nafas yang sedikit  terengah karena harus berlari dari ruang kelas sampai halaman depan sekolah itu.
“Ehem..” pria itu berdeham lagi. Tidak ada  reaksi. Dia pun mencondongkan tubuhnya, mengintip
baris-baris tulisan yang tengah wanita itu tulis dan tersenyum kecil.
“Eh anas, rupanya kau benar-benar sedang  serius, ” anas mendongak, mendapati Doni –nama pria itu- tengah mengintip buku rahasia miliknya.
“Apa yang sedang kau lakukan?!” ucap Anas kaget, lalu buru-buru memasukkan buku itu ke dalam
tasnya kembali.
“Aku ini kan sahabatmu, kenapa aku tidak
pernah boleh membaca buku itu, eoh?” ujar Doni
dengan mimik muka lucu. Dia melepas tas sekolahnya
dan duduk bersila di atas rumput yang menguning.
“Ini pri-va-si,” sahut Anas sedikit gugup.
“Kenapa baru datang?”
“Ah, maafkan aku. Kelompokku mendapat
giliran paling akhir untuk presentasi,” jawab Doni,
sementara Anas hanya mengangguk.
“Nah, coba lihat apa yang aku temukan lagi di
laci mejaku,” Doni membuka tasnya dan
mengeluarkan empat amplop dengan warna-warna yang
berbeda, merah muda, ungu, jingga, dan biru safir.
“Surat penggemar rahasia lagi?” tanya Anas antusias.
“Benar, aku tidak mengerti kenapa ada orang yang mengirim surat-surat ini untukku. Seolah-seolah aku spesial di matanya. Kelihatannya aku terlalu berlebihan, tapi jika membaca kata-katanya kupikir orang itu menyukaiku,” Doni tertawa pelan.
“Padahal kan aku tidak populer juga tidak tampan,” lanjutnya rendah hati.
Anaas menggeleng pelan tanda tidak setuju.
Pria di depannya ini adalah salah satu siswa yang
banyak dikagumi di kalangan siswa khususnya adik-adik kelas wanita. Terang saja, karena Doni yang
notabene warga Prancis ini memiliki prestasi yang membanggakan di bidang akademik, juga karena
kepribadiannya yang hangat, baik dan ramah.
“Anas, maukah kau membantuku mencari pengirim surat ini? Aku sangat penasaran dengannya,”
“Err.. tentu saja,” Anas mengangguk pelan dan tersenyum.
=====================================================================
“Anas, maaf telah merepotkanmu.
Sebentar lagi cafe ini akan tutup, aku akan berganti pakaian sebentar ya,” ucap Doni yang diiringi anggukan kepala oleh Anas.  Pria itu mengangkat nampan berisi cangkir-cangkir kosong dan membawanya ke dapur. Sementara Anas memperhatikan sekeliling ruangan bernuansa coklat muda itu, yang merupakan cafe kecil tempat Doni bekerja sepulang sekolah. Sebagai mahasiswa yang mendapatkan beasiswa ke Indonesia, harus hidup mandiri dan jauh dari keluarganya di Prancis.

“Nona, vanilla lattemu sudah habis, mau tambah lagi?” Yanto, teman Doni yang juga bekerja di sana tampak mengelap meja di samping Anas sambil memamerkan senyum khasnya.
Anas menatap ke arah cangkirnya yang memang sudah kosong. “Tidak, to. Terima kasih..” tolak Anas tersenyum sopan. Satu per satu pengunjung cafe mulai berkurang seiring dengan langit yang mulai gelap. Ketika pelanggan terakhir telah meninggalkan cafe itu, Doni memasang papan bertuliskan ‘CLOSED’ di dekat pintu kaca. Pakaian seragam kerjanya telah berganti dengan kaos putih sederhana dan celana panjang.
“Kita berdiskusi di sini saja, ya. Aku harus menjaga cafe sampai managernya datang,” Yanto menarik kursi di depan Anas dan duduk.
“Baiklah,” jawab Anas seraya meniup-niup cangkir kopi susunya yang beberapa menit yang lalu Doni bawakan untuknya.
“Menurutku pengirimnya adalah satu orang karena meskipun surat ini ditulis dengan komputer tapi aku bisa mengenali gaya tulisannya. Bagaimana menurutmu, Anas?” tanya Doni sambil mengamati belasan surat-surat di atas meja.
“Aku pikir juga begitu,” Anas mengangguk
dan meletakkan kembali cangkirnya. “Kau bilang menerima surat ini setiap hari, kapan surat ini ada di
mejamu?”
“Setiap pagi ketika aku tiba di kelas pasti surat ini sudah ada di laci mejaku,”
“Dia pasti dia sengaja berangkat lebih pagi untuk meletakkan surat itu,” ujar Anas menyimpulkan.
“Mungkin saja. Seandainya saja aku bisa
berangkat lebih awal, mungkin aku bisa bertemu dengan
pengirim surat ini,”
Selain bekerja part time sebagai pelayan cafe setiap pagi Doni juga harus mengantarkan koran dan susu segar dari rumah ke rumah. Pekerjaan itu baru selesai jam enam pagi, sementara dia hanya punya waktu setengah jam untuk bersiap-siap ke kampus.
“Bagaimana kalau aku saja? Mungkin besok aku akan berangkat lebih pagi untuk bersih-bersih ruang
kelas, tawar Anas yang langsung mendapat sambutan senyuman hangat Doni.
“Benarkah?” Mata Doni membulat lucu. “Aku mengandalkanmu Nas, semoga kau bisa bertemu
dengan orangnya. Tapi jangan langsung diinterogasi,
ya? Nanti dia malu,” Anas tertawa ringat. “Serahkan saja padaku don!”
================================================================
Doni mempercepat kayuhan sepedanya, tidak peduli dengan nafasnya yang mulai memendek karena kelelahan. Beberapa menit yang lalu Anas menelponnya dan menyuruhnya untuk cepat-cepat datang ke kampus.

Flashback..

Ddddrtt…ddrrt… Ponsel Doni yang tergeletak di atas kasur bergetar. Doni yang baru saja mandi dan masuk ke dalam kamarnya langsung menyambar ponsel itu begitu melihat nama Anas di layar ponselnya.
“Haloo, bagaimana nas? Apa kau berhasil bertemu dengannya? Dia siapa? Kakak atau Adik kelas atau seangkatan dengan kita? Dari kelas mana?
Oh, bagaimana reaksinya?” Doni langsung menyerocos
dan memberondong Anas dengan pertanyaan tanpa jeda.
“Don, bisakah diam sebentar? Aku bahkan belum sempat mengatakan ‘Halo’” potong Anas dengan nada tinggi, membuat Doni terkekeh.
“Maaf, aku benar-benar penasaran,”
“Don, maaf aku tidak bertemu dengan pengirim surat itu, namun ada sesuatu yang penting yang aku temukan. Bisakah kau datang ke sekolah sekarang?”
“Tentu saja, aku akan segera berangkat!”

Flashback end

Doni memperlambat laju sepedanya begitu sampai di area parkir sekolah yang disediakan khusus untuk sepeda. Kemudian dia memarkirkan sepedanya di sana.
“Doni” Anas melambai ke arahnya.
“Apa yang kautemukan, Anas?”
“Masih ada waktu setengah jam lagi sebelum bel masuk, kamu, duduk di sana,” ujar anas sambil menunjuk bangku panjang di bawah pohon Kenari.
“Jadi apa yang kau temukan, Anas?” tanya
Doni lalu duduk di samping Anas yang membuka tasnya.
“Sepertinya dia tahu kalau kau penasaran. Maaf, tadi aku membaca suratmu,” Anas menyodorkan amplop warna hijau pupus itu ke Doni.

-ini adalah surat kedelapan belas
yang aku berikan untukmu..
Sepertinya kau mulai penasaran dan ingin tahu
siapa aku. Maafkan aku, tapi aku tidak bisa berterus
terang padamu dan menunjukkan identitasku. Bolehkah
aku menyukaimu dengan cara seperti ini? Karena aku
merasa kau terlalu baik, dibandingkan aku yang biasa
saja. Mungkin jika kau tahu siapa aku, kau tidak akan
menyukaiku juga. Jadi itu pasti akan membuatku
terluka. maaf jika aku telah mengganggumu, aku tidak akan menulis surat lagi untukmu. Ini akan menjadi suratku yang terakhir..
Maaf telah banyak merepotkanmu, tapi aku akan selalu mendoakan yang terbaik bagimu^^

“Ini berarti aku tidak akan tahu siapa pengirim surat-surat itu nas,”
“Mungkin,” Anas mengangguk pelan dan menatap Doni yang terlihat kecewa.
“Kau tahu? Padahal sepertinya aku menyukai wanita ini nas. Meskipun aku tidak tahu siapa dia,
tapi dari surat-surat yang dia tulis aku tahu kalau dia
adalah wanita yang baik hati dan pengertian,” kata
Doni seraya memandang langit dan tersenyum.
“Benarkah?” tanya Anas tak percaya.
“Begitulah, kenapa dia tidak mau bertemu
denganku ya? Dia malu kenapa?”
“Mungkin dia merasa kau terlalu sempurna
untuknya dan itu yang membuatnya menjadi merasa tidak pantas untukmu, don,”
“Apa maksudmu?”
“Don don, tidakkah kau mengerti? Mungkin
saja wanita ini minder dengan semua penggemar-
penggemarmu yang lain, yang lebih cantik darinya, lebih
kaya, bahkan lebih populer dan…” “Apa nas?, aku tidak pernah merasa kalau aku istimewa. Dan menurutku yang terpenting bukanlah kesempurnaan luar seseorang, aku tidak membutuhkannya. Aku hanya membutuhkan kepedulian yang tulus. “
Anas terdiam dan menunduk, menatap kedua sepatunya yang mengayun-ayun gelisah.
“Aku harus pergi don. Pekerjaanku belum selesai, daaah!” tukas Anas dengan cepat sambil menyambar tasnya dan melangkah dengan tergesa-gesa, meninggalkan
Doni yang menatapnya kebingungan.
=============================================================
“Nona, tidakkah kau lihat? Akhir-akhir ini Doni gege menjadi sedikit murung,” ujar Yanto sambil mengedikkan sebelah matanya ke arah Doni yang sedang terdiam di depan meja kasir.
Anas yang sedang menulis di buku rahasianya mengangguk dan menghela nafas pelan.
“Benar, semenjak wanita itu tidak mengirim surat untuknya lagi,”
Yanto melipat kedua tangannya di atas meja dan sedikit berbisik, “Nona, tahukah. Setiap cafe sedang sepi Doni selalu membaca ulang surat-surat itu sambil tersenyum sendiri. Dan… dia juga bilang padaku kalau dia menyukai wanita itu, bahkan ingin sekali bertemu dengannya. Aku jadi penasaran..”
“Dia bilang padamu begitu?”
Yanto mengangguk.
Ddddrt…ddrrt… ponsel Anas bergetar pelan.
“Ya halo, ayah? Baiklah, aku akan segera kesana,” ujar Anas pada orang yang ada di seberang telepon.
“Ada apa, nona?”
“Sory to, aku harus menjemput ayahku di
stasiun sekarang. Aku pergi, ya!” Anas dengan
tergesa menyambar tasnya dan setengah berlari meninggalkan cafe.
“Hati-hati di jalan, nona!” ucap Yanto
seraya melambai pada wanita itu. “Eh..” dahinya
mengernyit tatkala melihat buku ungu Anas tertinggal di atas meja.
Buku itu masih terbuka dan menampilkan halaman yang berisi barisan kalimat, mengundang rasa ingin tahu Yanto untuk membacanya. Pria gemuk itu pun membuka halaman demi halaman buku itu dan kemudian menyadari sesuatu.
“Doni !!”
================================================================
Suasana musim gugur masih mendominasi dengan warna jingga, merah, dan coklatnya. Hawa dingin mulai bertiup karena musim dingin yang akan segera datang. Anas merapatkan jaket biru langitnya, mencoba mengusir hawa dingin. Sesaat kemudian dia tersenyum melihat Doni yang telah berjarak beberapa meter darinya.
“Ya ampun nas, lihat rambutmu dipenuhi
dengan daun kering,” ujar Doni sambil menarik beberapa daun dari rambut hitam Anas.
“Ah, benarkah?”
Doni duduk di sebelah Anas sambil terus menerus tersenyum.
“Ada apa don? Kelihatannya kau sudah ceria kembali,”
“Ada sesuatu yang membuatku gembira,” sahut Doni sambil menoleh ke arah Anas dan kembali tersenyum.
“Apa itu? Apa telepon dari ibumu?”
“Bukan,” Doni menggeleng pelan dan tersenyum lagi, membuat Anas mengernyit bingung.
“Sekarang justru kau yang murung, ada apa dit?” tanya Doni begitu mendapati Anas yang terlihat gelisah.
“Aku kehilangan sesuatu,don. Padahal barang itu cukup penting, bisa gawat jika ditemukan orang lain,”
“Ah..” Doni memekik pelan dan membuka
tasnya. Lalu mengeluarkan buku ungu milik Anas.
“Inikan?” ujarnya seraya menyodorkan buku itu ke Anas.
“Apa..?! Ba..bagaimana..” Anas menarik buku itu dengan cepat. Dia merasakan aliran darahnya berdesir cepat dan jantungnya seperti mau melompat keluar.
“Nas, sepertinya aku menemukan pengirim surat-surat itu,” tukas Doni sebelum Anas
melanjutkan kata-katanya. Anas menundukkan kepalanya dan meremas jari-jarinya dengan gelisah.
“Kumohon jawab pertanyaanku, nas,” lanjut Doni dengan lembut. Dia bangkit dari duduknya dan berlutut di depan Anas
“Kau adalah pengirim surat itu kan?” tanya Doni tenang.
“Bukan!” Anas menggeleng kuat-kuat.
“Lalu kenapa puisi-puisi di bukumu sama dengan di surat itu?”
“Itu…itu karena aku menyalinnya kembali di bukuku,” sahut Anas, menghindari tatapan mata Doni.
Doni menggeleng pelan.
“Tidak mungkin, Nas. Dan ini… maaf aku telah lancang membacanya,”
Doni membuka halaman buku itu dan menunjukkannya
ke Anas. Sementara Anas membuang muka.
“Sekarang jawab ini nas, apakah kau menyukaiku?”
Tubuh Anas menegang, matanya mulai berkaca-kaca. “Maafkan aku don. Aku tahu ini salah,” Anas bangkit dari duduknya dan bersiap pergi.
Doni langsung menahan tangan wanita itu.
“Kumohon jangan pergi,” lirih Doni.
Anas melepas pegangan tangannya dengan pelan, tapi Doni justru semakin mengeratkan pegangannya.
“Don, aku tidak ingin persahabatan kita rusak karena perasaanku. Aku tahu kau tidak menyukaiku, jadi lebih baik jika aku memendam perasaanku dan..”
Doni tersenyum kemudian menarik tangan
kanan Anas dan membuat mereka saling berhadapan.
Dia menghela nafasnya sejenak kemudian sebelum akhirnya memberanikan diri menatap Anas tepat di
manik matanya. “Kau tahu? Hatiku, pikiranku, semuanya
telah kau ambil alih tanpa sisa. Aku tidak bisa bila tanpamu nas. Tanpamu, aku hidup tanpa hatiku,
Aku menyukaimu Anastasia,”
Anas menutup mulutnya dengan tangan kirinya yang bebas, tidak menyangka bahwa pria di hadapannya akan menyatakan perasaannya. Dirasakannya kedua pipinya yang memanas dan detak jantungnya yang meloncat-loncat.
“Nas, apakah kau mempunyai perasaan yang sama denganku?”
Anas tersenyum samar. Perlahan dia mengangguk. “Ya don, aku juga menyukaimu,”
Sontak air muka Doni berubah cerah. Kedua matanya berbinar dan ada kehangatan di senyumnya.
“Terima kasih telah peduli denganku selama ini, nas”
Doni memeluk Anas dengan erat.
“Ya,” Anas tersenyum dan melingkarkan tangannya ke pinggang Doni yang berdiri di depannya.

THE END

Prolog….:
“Oi don! Lihat apa yang aku temukan! Kau tidak akan mempercayainya! Cepat kesini!” teriak Yanto heboh sambil terus membuka-buka halaman buku milik Anas. Membuat beberapa pengunjung cafe menatapnya heran.
“Ada apa?” tanya Doni murung.
“Ini, kau harus membacanya!” sahut Yanto, membiarkan buku itu berpindah dari tangannya.
Mata Doni membulat tatkala membaca kalimat demi kalimat yang tertulis di buku itu.
“Jadi, Benar! nona Anas adalah penulis surat itu, dan yang terpenting dia juga menyukaimu!” Yanto melonjak senang.
Doni tertegun, matanya kembali menelisik halaman yang tengah dia buka. Sejenak kemudian dia tersenyum.


                                                                                    
                                                                                                    Jakarta 29st October 2013

Halo, Doni^^
Ada beberapa hal yang ingin kukatakan  padamu…

Semenjak kau tidak mendapat surat itu lagi, aku sering melihatmu melamun dan jarang tersenyum.
Maaf, aku telah membuatmu sedih. Seharusnya sejak  awal aku tidak mengirim surat-surat itu jika pada
akhirnya aku tidak berani jujur padamu. Aku tidak bermaksud membuatmu  kebingungan, hanya saja aku tidak mungkin berterus  terang. Aku tidak ingin kejadian ini merusak  persahabatan kita. Tidak apa-apa kan jika aku  mencintaimu dengan cara seperti ini? Tidak masalah  jika selamanya aku hanya menjadi sahabatmu asalkan  aku bisa terus melihatmu dan berada di dekatmu.  Setiap kali ada wanita-wanita di sekolah yang mendekatimu, aku jadi merasa tidak pantas  untukmu. Kau ini begitu istimewa. Jika dibandingkan mereka aku tidak memiliki sesuatu yang lebih.  Mungkin ini adalah jalan paling baik untuk kita  masing-masing, tapi aku tidak akan pernah berhenti  untuk menyukaimu. Jeongmal saranghaeyo, semoga kau  selalu bahagia Doni^^”

Best wishes

0 komentar:

Posting Komentar